KONTEKS.CO.ID - Tim SAR memilih tidak menggunakan alat berat saat mengevakuasi korban runtuhan musala Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur.
Padahal, crane dan peralatan besar sudah disiagakan di lokasi.
Keputusan ini bukan tanpa alasan, melainkan demi keselamatan korban yang mungkin masih selamat di bawah puing-puing.
Baca Juga: Alquran Terjemahan Bahasa Betawi Segera Terbit, Kemenag: Wujud Nyata Literasi Keagamaan
Pola Runtuhan Berisiko Picu Bahaya Baru
Seorang anggota Tim SAR, Ega Prasutia, menjelaskan kondisi bangunan runtuh dengan pola pancake, yakni material bangunan bertumpuk tidak stabil.
“Kalau langsung diangkat dengan crane, bisa terjadi runtuhan susulan. Itu berbahaya. Korban yang mungkin masih selamat bisa justru kehilangan nyawa,” kata Ega, Rabu, 1 Oktober 2025.
Karena itu, tim lebih memilih metode manual menggunakan teknik shifting atau rolling, yaitu memindahkan material sedikit demi sedikit.
Cara ini memang butuh waktu lebih lama, tapi dianggap paling aman untuk korban maupun petugas di lapangan.
Fokus Mengejar Golden Time
Menurut Ega, metode manual memungkinkan tim SAR menjaga peluang korban selamat selama periode krusial atau golden time.
“Evakuasi dilakukan dengan alat khusus, bukan crane. Ini supaya korban yang mungkin masih hidup bisa tetap diselamatkan,” jelasnya.
Baca Juga: Tips Memilih Raket Padel yang Tepat untuk Pemula hingga Profesional
Ia menekankan, kecepatan tidak boleh mengorbankan keselamatan.
Prinsipnya, lebih baik lambat tapi aman daripada cepat namun berisiko fatal.
Artikel Terkait
Kecelakaan Pekerja Tambang Grasberg, Komnas HAM Papua Anggap Freeport Lalai soal Mitigasi
Freeport Didesak Terapkan Prinsip HAM dalam Praktik Bisnis
Gempa Magnitudo 6,5 Guncang Sumenep Terasa Hingga Surabaya, Warga Luka Hingga Puluhan Rumah Rusak
15 Korban Musala Ponpes Al Khoziny Ambruk Terdeteksi, 8 Berstatus Hitam dan 7 Merah
117 Gempa Susulan Hantam Sumenep, BMKG Sebut Akibat Sesar Aktif Bawah Laut