Ketika terjadi pelanggaran, hanya sopir yang diseret ke ranah hukum, sementara perusahaan pemilik barang dan truk lepas tangan.
Salah satu sorotan tajam adalah Pasal 277 dalam UU No. 22 Tahun 2009, yang bisa menjebloskan sopir ke penjara selama satu tahun atau denda hingga Rp24 juta.
Baca Juga: Hasto Akan Gunakan AI untuk Susun Pledoi di Pengadilan dalam Kasus Suap Harun Masiku
Padahal, dalam banyak kasus, muatan berlebih bukan keputusan sopir, tapi perintah atasan.
Tuntutan GSJT: Regulasi Adil dan Perlindungan Nyata
Dalam aksinya, GSJT membawa sederet tuntutan, mulai dari revisi regulasi hukum yang dianggap menjerat, evaluasi total kebijakan ODOL, hingga perlindungan sosial dan jaminan kesejahteraan bagi sopir.
Mereka juga mendesak pemerintah untuk membuka ruang dialog yang lebih inklusif, bukan hanya dengan pemilik armada atau asosiasi besar, tetapi langsung kepada para pelaku di lapangan—mereka yang setiap hari berjibaku di jalanan.
Baca Juga: Alarm! Kemenperin Minta Industri Dalam Negeri Bersiap Kena Hantaman Imbas Perang Iran vs Israel
Suara dari Jalanan yang Perlu Didengar
Aksi mogok dan konvoi besar-besaran di Surabaya hari itu bukan semata-mata bentuk perlawanan, tapi juga cerminan betapa kebijakan yang dibuat dari meja rapat kadang tak menyentuh realita lapangan.
Sopir truk bukan musuh kebijakan, mereka hanya menuntut keadilan agar tidak terus jadi korban sistem distribusi yang timpang.
Kini, bola panas ada di tangan pemerintah.
Akankah suara dari jalanan didengar dan dijadikan bahan perbaikan, atau justru dibiarkan meradang dan memunculkan gejolak lebih besar?***
Artikel Terkait
Kades Casmari Ngaku Tak Pernah Ambil Gaji Usai Nyawer di Klub Malam, DPMD Tahan Penyaluran Dana ke Desanya
7 Orang Terlapor Mafia Tanah yang Menimpa Mbah Tupon Resmi Jadi Tersangka
Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki Paksa Tiga Bandara di NTT Ditutup
5 Fakta Gunung Lewotobi Laki-Laki yang Perlu Anda Tahu
Gunung Raung Erupsi Lagi dengan Tinggi Kolom Abu 2.000 Meter, Waspada Aktivitas Vulkanik Meningkat