Selain belajar ke Inggris, Dedi menyebut, Polri menggandeng para akademisi, pakar, dan organisasi masyarakat sipil untuk memastikan bahwa penyusunan model baru tetap inklusif dan demokratis.
Salah satunya, mengkaji asesmen kemampuan psikologis dan kemampuan evaluatif para komandan di lapangan.
Evaluasi berkelanjutan, kata dia, merupakan bagian tak terpisahkan dari standar HAM internasional.
Baca Juga: Momen Menhan Sjafrie dan Deddy Corbuzier Makan Bareng Prajurit, Ingatkan TNI soal Pengabdian
"Setiap tindakan dalam lima tahap harus dievaluasi, mulai dari progres hingga dampaknya. Ini sejalan dengan prinsip accountability dalam standar HAM global," katanya.
"Polri harus berani berubah, memperbaiki, dan beradaptasi,” imbuhnya.
Polri juga melakukan penyederhanaan sistem pengendalian massa yang awalnya terdiri dari 38 tahapan menjadi lima fase utama.
Penyederhanaan diharmonisasikan dengan enam tahapan penggunaan kekuatan sesuai Perkap No. 1/2009 serta standar HAM pada Perkap Nomor 8 Tahun 2009.
Ditegaskan Dedi, seluruh pembaruan harus berbasis riset multidisipliner dan data.
Menurutnya, dalam hal pelayanan publik negara-negara maju kerap bertumpu pada kajian ilmiah. Polri, tegasnya, perlu mengadopsi pendekatan serupa.
"Dalam konteks internasional, semua negara yang maju dalam pelayanan publik selalu bertumpu pada ilmu pengetahuan dan kajian," ujarnya.
"Itulah yang kita lakukan. Masukan dari masyarakat sipil menjadi bagian penting dari proses ini,” pungkasnya.***