"Jika figur di posisi tertinggi partai kini dengan minus besar begitu, apakah itu telah menjadi simbol kegagalan tata kelola publik? Apa ini sekadar anomali atau ini alarm keras?" imbuhnya.
Dalam kultur politik Indonesia, kata Azis, ketum partai adalah barometer moral dan kapabilitas.
Apalagi Golkar, yang sejak Orde Baru hingga era reformasi selalu menempatkan dirinya sebagai partai negara-bangsa yang menganut politik negara, bukan penganut politik kekuasaan sekadar partai elektoral.
Baca Juga: Bahlil Semprot SPBU Swasta: Jangan Halangi Program Etanol yang Ciptakan Lapangan Kerja Petani
"Maka jika sang ketum, bukan kader lapis dua, melainkan pucuk tertinggi yang memperoleh label menteri dengan kinerja paling buruk, pesan yang sampai ke rakyat sederhana, 'Apakah Golkar kini kehilangan kualitas dan kompas moral dan ideologisnya?'” tanya Azis.
Dia menegaskan, jika hari ini simbol tertingginya justru menjadi problem bagi partai itu sendiri, maka keberanian untuk melakukan reset atau evaluasi total bukan hanya opsi, melainkan keniscayaan moral dan ideologis.
"Celios memang bukan lembaga politik. Namun angka minus 151 bukan sekadar skor, ia adalah persepsi," tegasnya.
Azis juga mengingatkan dalam politik modern, persepsi adalah realitas. Maka masalah ini tidak bisa ditanggapi dengan defensif semata.
Baca Juga: Chipset Terkuat d Bumi: Detail Snapdragon 8 Elite Gen 6 Bocor di Internet
"Jika Golkar hanya bermain di tataran klarifikasi, membela personal atau menyebut survei sebagai bias, maka Partai Golkar sesungguhnya sedang memperdalam jurang delegitimasi di mata generasi yang lebih kritis," tegas mantan Ketua Bakornas Fokusmaker dan Wakil Sekjend DPP KNPI itu.
Lantaran itu, kata Azis, demi menyelamatkan Partai Golkar sekaligus mendukung kepemimpinan nasional Presiden Prabowo Subianto dalam membawa visi besar untuk menjawab Paradoks Indonesia menuju Indonesia Emas 2045, ada tiga langkah simultan strategis, dan Partai Golkar tidak sedang diberi banyak waktu.
Pertama, rekonstruksi citra, bukan pembelaan instan. Golkar, kata dia, harus kembali ke paradigma politik negara dengan narasi pembangunan, inovasi gagasan dan kebijakan, kaderisasi teritorial dan fungsional berbasis PDLT (prestasi, dedikasi, loyalitas, tidak tercela) hingga tingkat basis serta meritokrasi.
"Bukan politik kekuasaan yang pragmatisme transaksional dan bukan reaktif, bukan naif dan emosional. Kalangan profesional muda Golkar harus diberi panggung," ucapnya.
Kedua, evaluasi internal berbasis PDLT yang nyata, bukan seremonial.