KONTEKS.CO.ID - Sejak era Orde Baru, film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C Noer (1984) menjadi tontonan wajib.
Film ini menampilkan enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat seolah disiksa secara sadis sebelum dibunuh pada 1 Oktober 1965.
Selain film, media masa militer seperti Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha menulis artikel yang menegaskan adanya penganiayaan mengerikan, lengkap dengan foto buram jenazah.
Narasi ini berhasil membentuk persepsi publik selama puluhan tahun, seakan-akan penyiksaan adalah fakta nyata.
Baca Juga: Fakta Baru G30S: Dokter Forensik Tegaskan Tak Ada Penyiksaan Enam Jenderal
Dokumen Otopsi 6 Jenderal Korban G30S Ungkap Fakta Sebenarnya
Beralih ke bukti medis, dokumen otopsi yang dilakukan lima dokter forensik, termasuk Dr Liauw Yan Siang, justru membantah klaim penyiksaan.
Luka yang ditemukan hanyalah akibat trauma benda tumpul dan tembakan. Tidak ada mutilasi mata atau alat kelamin, sebagaimana dikabarkan media militer Orde Baru.
Dr Liauw menegaskan, “Enggak ada luka tusuk, enggak ada luka iris, enggak ada mutilasi."
"Kesimpulan saya, enggak ada penyiksaan.” Dokumen otopsi ini kemudian dikutip dalam penelitian Ben Anderson (How Did The Generals Die?), yang memperkuat sisi fakta medis versus propaganda.
Perbedaan Narasi dan Fakta
Perbedaan narasi ini sangat mencolok. Sementara propaganda Orde Baru menampilkan adegan brutal untuk membakar emosi publik.
Fakta otopsi menunjukkan bahwa kerusakan jenazah sebagian besar akibat kondisi sumur Lubang Buaya yang lembap. Luka benda tumpul juga bukan hasil penyiksaan, melainkan trauma akibat pemindahan jenazah.
Narasi propaganda Orde Baru terbukti efektif menciptakan ketakutan dan mempengaruhi opini publik.