KONTEKS.CO.ID - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi (Kapusdatin) Badan Penyelenggara (BP) Haji, Moh. Hasan Afandi.
Hasan diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi ihwal dugaan korupsi kuota haji, khususnya data perjalanan haji untuk periode 2023-2024.
"Terkait dengan Kapusdatin itu kan terkait dengan data dan informasi mengenai penyelenggaran ibadah haji, tentu itu dibutuhkan juga. Kita tentu ingin melihat ya fakta-fakta jamaah haji yang berangkat," ungkap Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, Jumat, 12 September 2025.
"Misalnya itu faktualnya berapa? begitu, yang dari reguler berapa? yang dari khusus berapa? karena itu kan berasal dari splitting kuota tambahan tadi," tambah Budi.
Baca Juga: KPK: Agen Travel Terancam Tak Dapat Kuota Haji Jika Tak Setoran ke Kemenag
Lembaga antirasuah itu bakal mendalami perihal fasilitas yang diterima para jamaah haji, termasuk dugaan penyimpangan downgrade fasilitas bagi jamaah yang mengeluarkan biaya haji furoda namun pelayanan yang diterima justru sekelas haji khusus.
"Itu juga termasuk yang didalami oleh penyidik," tandasnya.
KPK menyebut sejumlah pejabat di tiap tingkatan diduga mendapat bagian atau 'jatah' dari kasus dugaan korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2023–2024.
Dalam perkembangan terbaru, KPK menyita dua rumah dari aparatur sipil negara (ASN) di Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag. Aset yang disita tersebut bernilai sekitar Rp6,5 miliar dan diduga berasal dari hasil korupsi kuota haji.
Baca Juga: KPK Ungkap Pimpinan di Kemenag Diduga Terima Aliran Uang Kuota Haji, Yaqut Cholil Qoumas?
KPK juga sedang melacak serta mengumpulkan uang hasil korupsi lain, termasuk yang sudah dialihkan ke bentuk aset, seperti rumah maupun kendaraan.
Dugaan kuat, aliran uang ini mengalir secara berjenjang melalui orang kepercayaan, kerabat, hingga staf ahli pejabat Kemenag.
Adapun mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas juga sudah dimintai keterangan oleh penyidik. Tak main-main, kerugian negara akibat kasus ini ditaksir mencapai lebih dari Rp1 triliun.