KONTEKS.CO.ID - Direktur Institut Usba, Charles Imbir, menyampaikan pernyataan tegas bahwa masuknya tambang nikel ke kawasan konservasi Raja Ampat bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam masa depan Papua yang berdaulat secara ekologis dan adat.
“Kalau tambang dibiarkan masuk ke Raja Ampat, yang rusak bukan hanya ekosistemnya, tetapi juga harapan Papua akan masa depan yang berdaulat secara ekologis dan adat. Ini bukan hanya persoalan lokal, ini krisis nasional!” tegas Charles pada Sabtu, 7 Juni 2025.
Menurut Charles, Raja Ampat adalah paru-paru laut yang mampu menyerap 2,5 juta ton karbon setiap tahun. Namun, aktivitas tambang justru menyumbang hingga dua juta ton karbon dioksida per tahun.
“Ini jelas memperburuk krisis iklim dan mengkhianati komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris 2015,” ujarnya.
Penolakan Masyarakat Adat Diabaikan
Suara penolakan keras juga datang dari masyarakat adat Suku Kawei, Betew, dan Maya. Mereka telah menyampaikan surat resmi yang ditandatangani oleh 15 kepala suku, menolak tambang di wilayah adat mereka.
“Sacred sites dan wilayah tangkap tradisional mereka dihancurkan. Ini adalah bentuk penjajahan modern yang berlangsung di depan mata kita sendiri,” kata Charles.
Pariwisata yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi Raja Ampat juga terancam. Menurutnya, jika terumbu karang rusak, 20.000 pekerja pariwisata akan kehilangan mata pencaharian.
Baca Juga: Makin Santer Isu Reshuffle Kabinet Pemerintah Prabowo, PDIP Respons Begini
"Setengah dari homestay di Arborek dan Sauwandarek terancam bangkrut. Apakah ini yang dimaksud dengan pembangunan?” kata Charles.
Ia menyebutkan, kerusakan akibat tambang sudah nyata. Di Pulau Manyaifun dan Batang Pele, aktivitas tambang telah menutupi 40 persen karang di Selat Dampier dengan sedimen, menghilangkan 1.200 hektare hutan mangrove, dan mencemari laut dengan kadar nikel mencapai 1,25 mg/L atau lima kali lipat di atas batas aman menurut KLHK.
Langgar Hukum dan Komitmen Internasional
Kebijakan tambang ini, lanjut Charles, bertentangan dengan sejumlah regulasi nasional dan internasional, termasuk Putusan MK No. 3/PUU-XXI/2024 tentang larangan tambang di pulau kecil, serta Perda Papua Barat Daya mengenai perlindungan ekosistem dan prinsip-prinsip SDGs.
Baca Juga: Charles Imbir: Tambang Nikel Ancam Masa Depan Raja Ampat Sebagai Kawasan Konservasi