KONTEKS.CO.ID - Pemerintah Indonesia dengan kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, telah menetapkan agenda hilirisasi sebagai pilar utama transformasi ekonomi nasional.
Pembentukan Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2025 menegaskan komitmen untuk memperkuat industri pengolahan dalam negeri dan meningkatkan nilai tambah komoditas lokal.
Direktur Eksekutif TERAS Institute, Eduard B Hutagalung, menyampaikan bahwa sektor tambang masih menjadi fokus utama hilirisasi. Padahal, potensi sektor non-tambang seperti pertanian, perkebunan, kelautan, dan perikanan tetap memiliki peran strategis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan merata di seluruh wilayah Indonesia.
“Sektor non-tambang menjadi fondasi transformasi ekonomi Indonesia, dengan mengolah komoditas strategis lokal seperti kakao, karet, ikan dan kelapa menjadi produk setengah jadi atau jadi yang bernilai tinggi,” ujar Eduard B Hutagalung dalam keterangan pada Selasa, 13 Mei 2025.
Baca Juga: Keracunan Massal Siswa di Bogor Berujung Janji Pemerintah Evaluasi Program MBG
Menurutnya, transformasi ini akan memperkuat struktur industri nasional, mengurangi ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah, serta menciptakan nilai tambah yang menyebar hingga ke tingkat daerah.
“Salah satu tujuan utama dari agenda hilirisasi ini adalah membentuk pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Pulau Jawa,” katanya.
Sementara itu, dengan memanfaatkan potensi lokal dan membangun industri berbasis sumber daya setempat, kawasan-kawasan seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Papua berpeluang menjadi simpul pertumbuhan industri baru.
Pulau Sumatera misalnya, memiliki komoditas utama meliputi kelapa sawit, karet, dan kopi, dengan potensi produksi lebih dari 27 juta ton CPO dan 2 juta ton karet per tahun. Wilayah ini menyumbang lebih dari 60% produksi nasional.
Baca Juga: Dua Saksi Mangkir, Polda Metro Jadwalkan Ulang Pemeriksaan Kasus Ijazah Palsu Jokowi
“Peluang hilirisasi non-tambang di wilayah ini mencakup biodiesel, sabun, ban, minuman kopi dan kosmetik. Estimasi nilai ekonomi dari ketiga komoditas utama tersebut mencapai lebih dari Rp500 triliun per tahun,” ujar Eduard.
Kemudian Pulau Kalimantan juga berkontribusi besar dengan kelapa sawit dan karet, menghasilkan lebih dari 10 juta ton CPO dan 700 ribu ton karet. Wilayah ini mencakup lebih dari 20% produksi nasional, dengan peluang hilirisasi pada bio energi dan bahan bangunan berbasis biomassa.
“Estimasi nilai ekonomi dari hilirisasi non-tambang kelapa sawit dan karet di Kalimantan dapat mencapai Rp27 triliun per tahun,” katanya.