nasional

Senator Eka Kristina Yeimo Kritik Ketimpangan Dana Bagi Hasil, Minta Papua Diperlakukan Adil

Sabtu, 10 Mei 2025 | 21:13 WIB
Anggota DPD RI dari Papua Tengah, Eka Kristina Yeimo, mengkritik Dana Bagi Hasil (DBH) untuk Papua dan ketidaktransparanan PT Freeport Indonesia. (Foto: DPD RI)

KONTEKS.CO.ID - Anggota DPD RI asal Papua Tengah, Eka Kristina Yeimo mengkritik ketimpangan akut terkait Dana Bagi Hasil (DBH) untuk Papua. Ia juga prihatin atas ketidaktransparanan kontribusi PT Freeport Indonesia.

Meski pemerintah menyebut persentase pembagian — 80 persen untuk daerah dan 20 persen untuk pusat — Eka menyesalkan angka nominal yang seharusnya dapat diuji publik tidak pernah dipublikasikan secara jelas.

"Kami hanya disuguhi angka persentase, tapi nominal riilnya tidak pernah dibuka. Katanya Rp5 sampai Rp6 triliun, tapi tidak ada laporan resmi yang bisa diakses publik. Papua punya hak untuk tahu! Ini menyangkut prinsip transparansi dan akuntabilitas fiskal," tegas Eka melalui siaran pers yang diterima Sabtu, 10 Mei 2025.

Baca Juga: Makanan Ini Bisa Bikin Umur Pendek? Cek Dulu Daftarnya, Biar Nggak Nyesel di Kemudian Hari!

Eka mengaku sudah menyampaikan dua hal kruial ini dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Dirjen Anggaran, Dirjen Perimbangan Keuangan, dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) pada Rabu, 7 Mei 2025 kemarin.

Forum ini membahas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang semestinya menjadi instrumen fiskal untuk meningkatkan kesejahteraan daerah penghasil, termasuk Papua.

Eka melanjutkan, dalam kerangka tata kelola keuangan negara, ketertutupan informasi ini menunjukkan lemahnya akuntabilitas fiskal. Ini juga bukti bahwa prinsip keadilan distributif belum dijalankan secara utuh.

Baca Juga: LHKPN 2024, KPK: Masih Ada 11.114 Pejabat Negara Emoh Laporkan Harta Kekayaannya

Eka juga menyoroti stigma 3T — Tertinggal, Terbelakang, Termiskin — yang hingga kini masih dilekatkan pada Papua, padahal provinsi ini merupakan salah satu lumbung kekayaan alam nasional.

“Sudah hampir 80 tahun Indonesia merdeka, tapi Papua tetap disebut daerah 3T. Ini bukan sekadar narasi, tapi bentuk ketidakadilan struktural. Kami ini penyangga ekonomi nasional, tapi hidup dalam ketimpangan. Salahnya di mana? Apakah pada pusat yang tak transparan, atau pada daerah yang tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan?” tanya Eka.

Pencairan DBH Lambat, Pembangunan Stagnan

Di bagian lain, fakta lapangan bahwa keterlambatan pencairan DBH dari pemerintah pusat berakibat langsung pada stagnasi pembangunan dan memperbesar kesenjangan antarwilayah. Dalamperspektif pembangunan regional, kondisi ini menunjukkan kegagalan fungsi intervensi fiskal untuk mengoreksi ketimpangan spasial.

Baca Juga: Pemerintah Serius Tindak Premanisme Berkedok Ormas, Kejaksaan Siap Jalankan Arahan Presiden Prabowo

“Jika Pemda salah kelola, saya tidak segan menegur. Tapi kalau pusat yang lalai atau bahkan menahan hak kami, saya akan bicara lantang. Fungsi DPD adalah pengawasan dan pembelaan terhadap hak-hak daerah, dan saya berdiri di sini untuk itu,” tegas Eka.

Lebih lanjut, Eka mengungkapkan kekhawatiran bahwa kontribusi PNBP dari Papua justru digunakan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur di daerah lain yang lebih cepat menyerap anggaran. Sementara Papua terus berada di pinggiran distribusi fiskal.

Halaman:

Tags

Terkini