"Berita palsu, analisis yang bias, membalikkan fakta, menyembunyikan aspek harapan, memperbesar masalah kecil dan mencaci maki atau menyangkal keuntungan besar, telah terus-menerus menjadi agenda ribuan media audio-visual dan berbasis internet oleh musuh-musuh rakyat Iran,” sambungnya.
Negara ini juga memiliki sejarah menggunakan penutupan internet untuk menindak perbedaan pendapat.
Pada 2019, protes pecah di seluruh negeri ketika pemerintah Iran mengumumkan kenaikan 50% harga bahan bakar dan penjatahan bensin bulanan. Lebih dari 100 orang tewas, menurut laporan. Pemerintah dengan cepat menutup internet dan jaringan seluler selama beberapa hari.
Pada Februari 2021, setidaknya sepuluh kurir bahan bakar di provinsi Sistan dan Baluchistan di perbatasan dengan Pakistan tewas setelah bentrokan dua hari yang dipicu oleh Korps Pengawal Revolusi Islam yang memblokir jalan menuju Kota Saravan. Pembunuhan tersebut memicu demonstrasi, yang menyebabkan kematian lebih lanjut, dan rezim menutup internet di beberapa kota di provinsi tersebut.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengatakan pada saat itu, “Penutupan internet secara tertutup melanggar prinsip-prinsip kebutuhan dan proporsionalitas yang berlaku untuk pembatasan kebebasan berekspresi dan merupakan pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional.”
Protes seputar kematian Mahsa Amini telah membuat pihak berwenang Iran meraih pedoman penutupan internet sekali lagi. ***