• Senin, 22 Desember 2025

Perpres AI Jadi Prioritas 2026, Pemerintah Akui Regulasi 'Ketinggalan Kereta' dari Adopsi Publik

Photo Author
- Sabtu, 15 November 2025 | 08:05 WIB
AMSI dan GNI selenggarakan pelatihan AI untuk media. (Freepik/vwalakte)
AMSI dan GNI selenggarakan pelatihan AI untuk media. (Freepik/vwalakte)

KONTEKS.CO.ID - Indonesia secara mengejutkan telah melesat menjadi negara dengan tingkat penggunaan kecerdasan buatan (AI) tertinggi di ASEAN, dan menempati peringkat ketiga di seluruh Asia.

Namun, di balik status raja AI yang baru disandang ini, terungkap sebuah paradoks krusial, yakni ledakan adopsi oleh masyarakat ini ternyata tidak didukung oleh infrastruktur dasar yang memadai, membuat Indonesia terancam lumpuh dan tertinggal jauh dari raksasa seperti China.

Direktur Jenderal Ekosistem Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Edwin Hidayat Abdullah, pada Jumat, 14 November 2025, membenarkan adanya pertumbuhan yang sangat progresif.

Baca Juga: Peneliti: Fenomena Jumlah Perceraian Naik dan Pernikahan Turun di Indonesia Sudah Mengkhawatirkan

Industri AI di dalam negeri tumbuh subur; lebih dari 100 perusahaan, termasuk operator seluler besar seperti XL (dengan XL Smart) dan Indosat, kini berlomba-lomba mengembangkan produk AI mereka sendiri untuk pasar domestik.

Meskipun demikian, Edwin menjabarkan bahwa fondasi yang menopang ledakan adopsi oleh publik ini sangat rapuh.

Ia menyoroti lima tantangan utama yang menghambat Indonesia untuk benar-benar menjadi pemain global.

Masalah paling fundamental dan paling dirasakan masyarakat adalah konektivitas internet. Revolusi AI, menurutnya, tidak akan pernah terjadi secara merata jika kecepatan internet masih timpang.

Baca Juga: Daftar Lengkap Nama Siswa Juara Olimpiade Madrasah Indonesia Nasional 2025 Bidang Sains, Pintarnya di Atas Rata-Rata

"AI itu lebih banyak bisa berfungsi ketika di tempat-tempat yang connectivity-nya bagus," ungkap Edwin, kepada wartawan, Jumat 14 November 2025. 

Ia mengakui, meskipun sebaran sinyal ponsel sudah menjangkau 95 persen wilayah dan pengguna internet mencapai 225 juta, data tersebut menipu.

"Cuma secara rata-rata kecepatan ada yang bagus, ada yang belum bagus," tegasnya. Ini berarti, manfaat AI saat ini hanya bisa dinikmati secara maksimal oleh warga di kota-kota besar, sementara wilayah lain tertinggal.

Krisis infrastruktur ini tidak hanya soal kecepatan internet. Edwin merinci empat masalah lain yang tak kalah serius, yakni kesiapan korporasi, kompetensi (krisis talenta AI), ketersediaan konten lokal untuk melatih AI, dan kelangkaan wadah data komputerisasi (pusat data/data center).

Baca Juga: Awal Konflik Keraton Solo Memanas: Penetapan Putra Mahkota Dipersoalkan, KGPH Mangkubumi Diubah Jadi Hangabehi

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Lopi Kasim

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X