Meski demikian, tegas dia, langkah ini belum sepenuhnya meredakan tuntutan dari kalangan santri. Mereka kompak menilai permintaan maaf dan klarifikasi itu datang terlambat setelah menimbulkan luka di hati umat.
Artinya, perdebatan soal bantuan kepada pesantren sejatinya hanyalah cermin dari persoalan yang lebih mendasar. Yakni lemahnya komitmen negara dan parlemen terhadap keadilan pendidikan.
“Publik tidak sekadar menuntut transparansi anggaran, melainkan menagih tanggung jawab politik wakil rakyat dalam memastikan setiap kebijakan pendidikan berpihak pada rakyat, bukan pada kepentingan kelompok,” tandas Kusfiardi.
Ia menegaskan Kembali bahwa tuntutan pemecatan Atalia, dalam konteks ini, seharusnya dibaca sebagai peringatan moral bagi parlemen bahwa amanat konstitusi tidak dapat diabaikan tanpa konsekuensi politik.
Rakyat tidak menuntut balas budi, melainkan konsistensi—bahwa setiap kebijakan dan sikap politik harus berpijak pada tanggung jawab konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kusfiardi pun mempertanyakan Partai Golkar dan DPR yang belum bertindak. “Hingga kini, Partai Golkar dan DPR belum mengeluarkan keputusan resmi atas tuntutan tersebut, meninggalkan ruang bagi publik untuk menilai sejauh mana komitmen parlemen terhadap keadilan dan kepekaan sosial dalam kebijakan pendidikan nasional,” pungkasnya. ***
Artikel Terkait
Klaim Lisa Mariana: Atalia Praratya Sudah Tahu Ridwan Kamil Selingkuh Sejak 2021
Lisa Mariana Pengen Ketemu di Sidang Perdana 19 Mei 2025, Gimana Respons Ridwal Kamil dan Atalia Praratya?
Ridwan Kamil Mesra Bareng Atalia Usai Gugat Lisa Mariana Rp105 Miliar, Netter: Samawa Lovebird
Puluhan Santri Geruduk Rumah Ridwan Kamil, Protes Pernyataan Atalia Soal Ponpes Al Khoziny
Ucapannya Lukai Empati Publik, PKC KOPRI Jawa Barat Desak Golkar Pecat Atalia Praratya