Pembelaan Leonardi: Bukan Penentu Kebijakan, Cuma Eksekutor
Dalam keterangan tertulis pada Minggu, 5 Oktober 2025, Rinto Maha menjelaskan bahwa kliennya cuma pegang peran administratif sebagai PPK.
“Klien kami, dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) hanya menjalankan fungsi administratif semata sesuai perintah atasan dan garis komando struktural,” tegas Rinto.
Menurut dia, Leonardi tidak ambil keputusan besar sendirian yaitu semuanya di bawah Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), sesuai Permenhan Nomor 17 Tahun 2014.
Bahkan, penandatanganan kontrak katanya baru Oktober 2016 setelah DIPA keluar, bukan Juli saat anggaran kosong seperti tuduhan.
Dia juga membantah keras soal pengadaan fiktif atau kongkalikong.
“Tuduhan bersekongkol bertentangan dengan fakta administratif dan ketentuan hukum pengadaan barang jasa pemerintah,” tambah Rinto.
Baca Juga: Tak Perlu Panik, Kemkomdigi Pastikan Ponsel Bekas Tidak Harus Balik Nama
Bahkan, menurut Rinto, Leonardi justru proaktif. Awal 2017, dia surati Navayo minta stop pengiriman barang karena proyek belum matang.
"Plus, dia usul adendum kontrak buat koreksi administratif. Ini bukti nggak ada niat jahat atau mens rea," kata Rinto.
"Pemenang tender di atas Rp 100 miliar? Itu wewenang PA, bukan PPK seperti Leonardi," katanya.
Namun, kasus ini tidak berhenti di situ. Juli 2025, tim Leonardi mendaftarkan praperadilan di PN Jakarta Selatan (Nomor 85/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL) untuk mencabut status tersangka.
Kemudian, Kejagung memeriksa 52 saksi sipil, 7 militer, dan 9 ahli, jerat ketiga tersangka Pasal 2 UU Tipikor jo Pasal 55 KUHP.
Kerugian negara dari arbitrase ini membuat publik gempar. Apalagi irisan kasus korupsi satelit Kemenhan sebelumnya telah menjatuhkan vonis pada eks pejabat Kemenhan 12 tahun penjara.***
Artikel Terkait
Kejagung Belum Tahan 2 Tersangka Korupsi Satelit di Kemhan, Ada Eks Pejabat dan WN Hungaria
Kejagung Tetapkan CEO Perusahaan Asal Hungaria Buronan Korupsi Satelit Kemhan