Sementara di Ujung Genteng, Jawa Barat, terdapat temuan lapisan pasir setebal 7 meter pada lingkungan rawa. Hal itu mengindikasikan tsunami berusia sekitar 4.300 dan 5.500 tahun.
Di Lumajang, Jawa Timur, juga terdapat lapisan pasir kontras di antara lapisan lempung yang umurnya sekitar 300–400 tahun. Diduga bukan bagian dari tsunami raksasa seperti di wilayah barat, tapi tsunami lokal.
“Bukti geologi keberadaan tsunami raksasa sudah ada. Tapi kita masih harus melakukan analisis lebih detil untuk memahami frekuensi dan dampaknya secara menyeluruh,” kata Purna lagi.
Ia mengakui tantangan terbesar bukan hanya mengidentifikasi keberadaan tsunami masa lalu. Namun juga mengungkap karakteristiknya secara rinci.
“Kita belum bisa menjawab berapa jumlah gelombang tsunami masa lalu, seberapa besar genangannya, hingga berapa lama waktu evakuasi yang tersedia. Ini yang akan kita analisis lebih lanjut untuk mengetahui karakteristiknya,” tambahnya.
Dengan semakin padatnya wilayah selatan Jawa, Purna menyebutkan diperkirakan hingga tahun 2030 sebanyak 30 juta penduduk dapat terekspos tsunami di selatan Jawa.
Jalan dan infrastruktur yang kini terhubung ke pesisir selatan dapat memperbesar risiko dampak bencana. Oleh karena itu, ia menekankan studi paleotsunami sangat krusial dalam mendesain sistem mitigasi dan peringatan dini.
Sekaligus menjadi catatan bagi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam melakukan pembangunan di wilayah pesisir selatan Jawa, yang saat ini semakin berkembang. ***
Artikel Terkait
Ramalan Bencana Baba Vanga Jadi Kenyataan: Gempa Bumi di Rusia dan Tsunami Landa Jepang
Waspada Tsunami: Tips Mitigasi untuk Menyelamatkan Diri dan Keluarga
Ternyata Ini Penyebab Gempa Dahsyat Rusia Tak Sebabkan Dampak Tsunami Parah
Jepang Waspada Tsunami dengan Efek Letusan Gunung Lewotobi Laki-Laki
Gempa M 5,4 Guncang Halmahera Barat, Tak Berpotensi Tsunami