KONTEKS.CO.ID - Perkara Nuklir membuat Israel dengan jumawa menyerang Iran, bahkan belakangan Amerika Serikat ikut berpartisipasi menyerang Republik Islam.
Nuklir sejatinya bisa dikembangkan sebagi energi bersih dan andal. Pemerintah Indonesia pun tengah terlibat dalam sejumlah penelitian untuk mengadopsi penggunaan nuklir secara damai.
Salah satunya adalah melakukan penelitian terhadap jenis reaktor Light Water Reactor (LWR) yang banyak digunakan secara global. Teknologi dan fitur keselamatannya juga sudah teruji.
Baca Juga: Jumlah Orang dengan HIV di Tahun 2025 Tembus 564 Ribu, Terkosentrasi di 11 Provinsi Termasuk Jakarta!
Namun, peningkatan keselamatan tetap menjadi fokus utama, terutama guna menghadapi situasi tak terduga seperti pemadaman listrik total (station blackout).
Mencari solusi tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Universitas Indonesia (UI) berhasil mengembangkan desain sistem Passive Residual Heat Removal (PRHR) inovatif berbasis teknologi termosifon dua fase.
Sistem ini dirancang untuk meningkatkan efisiensi pembuangan panas sisa secara pasif pada reaktor LWR berdaya 300 MW termal.
“Tujuan utama dari riset ini adalah mengkaji kinerja termosifon dua fase pada lingkungan uap PRHR, serta menilai efektivitasnya dalam mengekstraksi panas langsung dari pembangkit uap. Sehingga hal ini dapat mengurangi ukuran peralatan penukar panas yang dibutuhkan,” jelas Anhar Riza Antariksawan, Peneliti Utama BRIN yang juga dosen di Politeknik Teknologi Nuklir Indonesia (Poltek Nuklir) Yogyakarta, Minggu 22 Juni 2025.
Baca Juga: Realme C71 NFC: Smartphone Terjangkau dengan Fitur Lengkap
Belajar dari PLTN Fukushima
Menurut Anhar, sistem PRHR konvensional umumnya hanya mampu bekerja efektif selama 72 jam setelah reaktor dimatikan, tanpa intervensi operator.
Dalam kondisi darurat berkepanjangan seperti pada insiden PLTN Fukushima Dai-ichi, sistem ini menjadi tidak memadai. Karena itu, tim peneliti BRIN dan UI menawarkan solusi berbasis termosifon dua fase yang bekerja tanpa listrik eksternal dan memiliki efisiensi perpindahan panas tinggi.
Keunggulan utama dari sistem ini terletak pada penempatan evaporator termosifon langsung di jalur uap PRHR, memungkinkan perpindahan panas laten secara efisien.
“Ini adalah langkah penting dalam meningkatkan keselamatan dan keandalan sistem pendingin pasif untuk reaktor generasi lanjut,” tambahnya.
Baca Juga: Program Makan Bergizi Gratis Serap Lebih dari 70 Ribu Lapangan Kerja, Berikut Perinciannya
Inovasi ini juga dirancang untuk mengurangi ukuran dan kompleksitas sistem penukar panas tambahan. Sistem bekerja dalam dua mode: menggunakan air untuk tiga hari pertama, dan udara setelahnya, memungkinkan operasi otonom dalam masa pendinginan berkepanjangan.
Desain adaptif ini dinilai sangat relevan untuk reaktor masa depan yang mengedepankan keselamatan pasif.
Anhar menjelaskan, penelitian ini dilakukan melalui pengujian eksperimental menggunakan Passive System Condensation Experimental Loop (PASCONEL) dan validasi numerik dengan perangkat lunak RELAP5.
Hasilnya menunjukkan bahwa satu unit tabung termosifon mampu membuang panas hingga 5 kW. Untuk menjaga keselamatan reaktor secara pasif pasca 72 jam, diperkirakan dibutuhkan sekitar 60 unit termosifon.
Baca Juga: Preview Manchester City Vs Al Ain, The Citizens Incar Tiket Gugur
“Langkah selanjutnya adalah mengkarakterisasi perpindahan panas di sisi kondensor dengan menggunakan udara sebagai media pendingin, guna meningkatkan efisiensi termal,” papar Anhar.
Penelitian ini memperlihatkan pentingnya integrasi antara riset eksperimental dan simulasi numerik dalam merancang sistem keselamatan reaktor yang lebih baik. ***
Artikel Terkait
ESDM Ungkap RI Sudah Punya Reaktor Nuklir, Tapi Belum Dimanfaatkan
Klaim Serangan Militer AS Sukses Besar, Trump: Pusat Nuklir Iran Hancur
Iran Konfirmasi Tidak Ada Kebocoran Nuklir Usai Serangan AS, Aman dan Tak Membahayakan
AS Serang Fasilitas Nuklir dengan Rudal, 97 WNI Sudah Dievakuasi dari Iran
Puluhan Rudal Tomahawk dan Bom GBU-57 Tak Sanggup Menembus Bungker Nuklir Iran