Guru Besar Unissula Semarang itu menjelaskan, perjanjian Helsinki 2005 memberikan dasar yuridis Aceh memiliki kewenangan khusus atas wilayahnya, termasuk pengelolaan pulau-pulau kecil di wilayah pesisirnya.
Dengan demikian, 4 pulau disengketakan secara historis telah menjadi bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, sebagaimana diakui dalam kerangka MoU Helsinki.
"Meskipun, secara geografis lebih dekat ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara," ucapnya.
Henry pun mendorong evaluasi menyeluruh terhadap Kepmendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah.
Baca Juga: Muhammadiyah: Sengketa 4 Pulau Aceh dan Sumut Picu Potensi Disintegrasi Bangsa
Pemerintah pusat, kata dia, perlu menjelaskan ke publik dan konsultasi ulang dengan Pemerintah Aceh sesuai prinsip otonomi khusus.
Kemudian, menekankan mengenai koordinasi dalam pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Pemerintah pusat juga harus memperhatikan perjanjian Helsinki dalam menyelesaikan persoalan ini.
Musababnya, sengketa batas wilayah itu menyentuh berbagai aspek, seperti hukum, politik, dan integritas NKRI.
Henry mengingatkan masukan dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang menyebut perjanjian Helsinki sebagai rujukan batas administrasi 1 Juli 1956 dan diakui dunia.
Diketahui, JK juga merupakan sosok kunci perjanjian damai Helsinki.***
Artikel Terkait
Di Tangan Prabowo, Pekan Ini Polemik 4 Pulau Aceh yang Berpindahtangan ke Sumut Akan Tuntas
Yusril Ungkap Fakta di Masa Lalu Soal Sengketa Pulau Aceh dan Sumut yang Dirumuskan Sederhana
Prabowo Diundang Presiden Rusia Vladimir Putin, Kewibawaan dan Kepercayaan Dunia
Rapat Sengketa 4 Pulau, Kemendagri Belum Libatkan Gubernur Aceh dan Sumut
Muhammadiyah: Sengketa 4 Pulau Aceh dan Sumut Picu Potensi Disintegrasi Bangsa