Ancaman Perusakan Bumi dari Papua ke Raja Ampat
Kini, ancaman yang sama menjalar ke bagian paling depan dari Papua, Raja Ampat.
Sebagai simbol wajah Papua di mata dunia internasional dan rumah bagi keanekaragaman hayati laut terbesar di planet ini, Raja Ampat adalah jantung pariwisata berkelanjutan yang selama ini menjadi harapan masa depan Papua.
Namun, kebijakan pemerintah pusat yang mengizinkan pertambangan nikel di wilayah ini menunjukkan bahwa kerusakan yang selama ini terjadi di 'belakang rumah' Papua kini berlanjut ke ‘teras depan’-nya.
Pertambangan nikel di Raja Ampat bukan hanya mengancam kelestarian lingkungan, tetapi juga mengabaikan hak-hak masyarakat adat, serta menghancurkan fondasi ekonomi lokal yang telah tumbuh secara mandiri dan berkelanjutan melalui pariwisata berbasis komunitas.
Jika wajah Papua di Raja Ampat ikut dirusak, maka kita sedang menyaksikan hilangnya satu demi satu harapan akan masa depan Papua yang berdaulat secara ekologis dan adat.
Di bawah ini adalah data, fakta dan berbagai dampak yang memperlihatkan betapa Pemerintah Pusat telah gagal dalam menjalankan amanat Pembukaan UUD 1945 serta Pasal 33 UUD 1945 di Raja Ampat.
Baca Juga: Kronologi Lisa Mariana Diduga Penipuan Jastip Piyama Murah Kuala Lumpur, Konon Korbannya Banyak
I. Dampak Ekologis Tak Terbantahkan
1. Ancaman terhadap Keanekaragaman Hayati
Raja Ampat adalah rumah bagi 1.800+ spesies ikan (termasuk 27 spesies endemik); 550 jenis terumbu karang (75% spesies karang dunia); 60% hutan mangrove Papua Barat (Conservation International, 2023). Aktivitas tambang nikel telah menyebabkan:
- Kerusakan Terumbu Karang: Sedimen tambang menutupi 40% karang di Dampier Strait (WWF Indonesia, 2024).
- Deforestasi Massal: 1.200 hektar hutan mangrove hilang di Pulau Manyaifun (KLHK, 2024).
- Pencemaran Logam Berat (nikel dan kobalt) dari tambang nikel telah menyebabkan kadar nikel di perairan Raja Ampat mencapai 1,25 mg/L (5x di atas baku mutu KLHK), mengancam spesies kunci seperti hiu karpet dan pari manta (Greenpeace, 2025; KLHK, 2024).
2. Krisis Iklim dan Ekosistem
Raja Ampat menyerap 2,5 juta ton karbon/tahun (UNEP, 2023). Sementara itu, tambang nikel meningkatkan emisi 2 juta ton CO₂/tahun dari deforestasi dan PLTU batubara pendukungnya (Climate Rights International, 2025).
Baca Juga: Lisa Mariana Diduga Menipu, Dilaporkan ke Polrestabes Surabaya, Kerugiannya Segini
II. Pelanggaran Hak Masyarakat Adat dan Pariwisata
1. Penolakan Masyarakat Adat
Keberadaan tambang telah merampas dan melenyapkan tempat sakral (sacred sites) milik masyarakat adat dan sumber ikan tradisional. Suku Kawei, Betew, dan Maya menolak tambang melalui Surat Bersama 15 Kepala Suku (2024).
Keberadaan tambang nikel menunjukkan tidak dilaksanakannya FPIC (Free, Prior, Informed Consent) sebagaimana diatur dalam UU No. 11/2013 tentang Masyarakat Adat.
Artikel Terkait
Usai Vonis Ringan Kasus Harvey Moeis, Hakim Eko Aryanto Kini Dimutasi ke Papua Barat
Gelar Operasi di Papua Tengah, TNI Amankan Intan Jaya dan Tewaskan 18 Anggota OPM
Cek Harga Gas Elpiji, Subsidi dan Nonsubsidi Terbaru per 18 Mei: Dari Jakarta Hingga Papua
Belasan Penambang Hilang di Pegunungan Arfak Papua Barat, Pencarian Terus Dilakukan
Seskab Teddy Tegaskan Dukungan Presiden Prabowo agar Papua Nugini Bisa Bergabung ke ASEAN