KONTEKS.CO.ID - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI dengan menolak tegas revisi UU TNI.
Alasan utama karena revisi itu bisa melegitimasi praktik dwifungsi ABRI dan membawa Indonesia ke rezim neo Orde Baru atau Orba.
“Kami memandang usulan revisi UU TNI bertentangan dengan agenda reformasi TNI yang semestinya mendukung TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara, sebagaimana amanat konstitusi dan demokrasi,” begitu pernyataan dari YLBHI.
Sayang, DPR dan Presiden melalui usulan revisi akan menarik kembali TNI dalam peran sosial politik, bahkan ekonomi-bisnis yang pada masa Orba terbukti tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum dan supremasi sipil, dan paling parah merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi.
Revisi UU TNI juga dinilai akan mengancam independensi peradilan hingga memperkuat impunitas atau kekebalan hukum anggota TNI.
Kalau ini dibiarkan, menurut YLBHI, bisa berdampak serius masa depan demokrasi, tegaknya negara hukum, dan peningkatan eskalasi pelanggaran berat HAM.
YLBHI menduga gagasan revisi UU TNI merupakan upaya menguatkan kembalinya dwi fungsi ABRI ketika tentara menjadi aktor politik dan bisnis pascareformasi.
YLBHI juga menyampaikan daftar pasal yang paling bermasalah dalam revisi UU TNI. Berikut penjelasannya.
Baca Juga: Revisi UU TNI Pembangkang Terhadap Komitmen HAM Internasional
Memperpanjang Masa Pensiun
Perwira TNI dalam draft revisi Pasal 71, usia pensiunnya diperpanjang menjadi paling lama 62 tahun.
Revisi ini jika disahkan akan menambah persoalan yang tidak pernah selesai, yaitu penumpukan perwira non-job, sehingga praktiknya justru bisa dimobilisasi ke lembaga-lembaga negara hingga perusahaan-perusahaan milik negara.
Perluasan Jabatan Sipil buat Perwira TNI Aktif
Presiden Prabowo meminta TNI aktif dapat mengisi jabatan kementerian dan lembaga negara. beresiko menghilangkan independensi dan profesionalisme anggota TNI yang mestinya fokus dalam urusan pertahanan negara. Hal ini berisiko menghilangkan independensi dan profesionalisme anggota TNI.
Membuka Ruang Ikut Campur dalam Politik Keamanan Negara
Di pasal tersebut TNI diberikan wewenang untuk dapat mengisi posisi Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan Negara. Pintu yang dibuka ini dapat memberi jalan luas militer untuk mengintervensi urusan politik dalam negeri dan menjadi ancaman bagi kebebasan sipil dan demokrasi dengan alasan “keamanan negara”.
Menganulir Suara Rakyat lewat DPR dalam Operasi Militer Selain Perang
Belajar dari Orde Baru dan perjalanan militer pascareformasi, operasi militer non-perang dengan dalih ‘mengatasi gerakan separatis bersenjata’ dan ‘mengatasi pemberontakan bersenjata’ di Aceh dan Papua telah menghasilkan pelanggaran HAM berat yang berlapis.
Artikel Terkait
Jadi Dirut Bulog, Mayjen Novi Helmy Prasetya Dimutasi Staf Khusus Panglima TNI
Petisi Tokoh dan Masyarakat Sipil: Tolak Kembalinya Dwifungsi Melalui Revisi UU TNI