KONTEKS.CO.ID - Jika Anda singgah di Semarang, mampirlah ke Restoran Pringsewu di Kota Lama Semarang. Restoran ini adalah satu di antara puluhan jejak raja gula Oei Tiong Ham atau OTH yang mendapat julukan crazy rich pertama di Indonesia.
Atau bagi yang pertama kali singgah ke Semarang, jangan heran melihat banyaknya bangunan tua yang tak terurus.
Kebanyakan bangunan tua yang masih tersisa kemegahannya itu adalah milik Oei Tiong Ham. Properti tua tersebut tidak terawat karena butuh waktu untuk mengembalikan ke kejayaan OTH di masa silam.
OTH memiliki lahan seluas 81 hektare di pusat Kota Semarang di sekitar rumah tinggalnya di kawasan Gergaji, Semarang.
Rumahnya yang besar mendapat julukan Istana Gergaji atau Istana Balekambang. Bangunan itu kini masih utuh dan menjadi kantor Otoritas Jasa Keuangan Regional III Jawa Tengah dan DIY di Jalan Kyai Saleh.
Oei Tiong Ham Bangun Gurita Bisnis di Semarang
Kota Semarang kini adalah kota yang nyaman dan tenang daripada kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Baca Juga: GANEFO, Olimpiade Ciptaan Soekarno yang Kontroversial, Bukti Ada Politik dalam Olahraga
Padahal di akhir 1800-an dan paruh pertama 1900-1961, OTH sebagai pewaris firma dagang Kian Gwan concern membangun semarang sebagai episentrum ekonomi.
Di kota tersebut, OTH membangun konglomerasi pertama di Asia Tenggara dan gurita bisnis multinasional hingga Amerika Serikat dan Eropa.
OTH yang lahir pada 1866 di Semarang mewarisi kerajaan bisnis ayahnya yang bernama Oei Tjie Sien. Ayahnya meninggal pada 1900. Ia pun mewarisi seluruh bisnis dan kekayaannya.
Baca Juga: Tan Malaka Ahli Penyamaran: 22 Tahun dalam Pelarian, 23 Nama Samaran
Oei sendiri mendarat di Semarang pada 1858. Ia meninggalkan tanah leluhurnya karena terjadi pemberontakan Taiping. Tapi kedatangannya itu tidak bermodal dengkul. Oei senior ini hijrah dari China dalam kondisi sudah berjuluk miliarder.
"Usaha dagangnya, Firma Kian Gwan, bergerak di bidang perdagangan hasil bumi, termasuk mengekspor ke Thailand dan Vietnam," jelas Indrawan Sasongko dalam buku '1000 Tahun Nusantara' yang terbit tahun 2000.
Raja Gula, Raja Karet, dan Raja Lada
Melansir dari 'Biografi Raja Gula Oei Tiong Ham' karya penulis Liem Tjwan Ling, firma dagang Kian Gwan Corcern mulai berkembang pada 1870 seiring penghapusan cultuur stelsel (tanam paksa) di Hindia Belanda.
Baca Juga: Sejarah Sepak Bola: Awal Mula Dimainkan, Pernah Jadi Olahraga Terlarang, Kini Terpopuler di Bumi
Selain itu, pembukaan Terusan Suez dan pelayaran yang semakin cepat dengan kapal uap membuat perdagangan antara Asia dan Eropa semakin pesat. Kian Gwan Concern menangkap dengan cerdas perubahan zaman tersebut.
OTH meneruskan kendali perusahaan pada 1890, ketika itu usianya baru 24 tahun. Pada 1893, firma, dagang itu berubah nama menjadi NV Handel Maatschappij Kian Gwan. Awal kebangkitan perusahaan ini adalah perdagangan opium yang kala itu legal di wilayah Hindia Belanda.
Oei Tiong Ham memperluas bisnis ayahnya melalui lima pabrik gula dengan perkebunan-perkebunan tebunya di Jawa, perkebunan karet dan lada. OTH pun mendapat julukan Raja Gula, Raja Karet, dan Raja Lada.
Baca Juga: Kisah Gusti Nurul, Kembang Mangkunegara Pujaan Tentara, Sultan, Hingga Perdana Menteri dan Presiden
"Produksi pabrik gulanya pada tahun 1912 mencapai 200.000 ton yang merupakan seperenam produksi gula di seluruh pulau Jawa," tulis Indrawan.
OTH memperkokoh kerajaan bisnisnya dengan membeli pabrik-pabrik gula di Jawa pada akhir abad ke-19. Awalnya ia membeli pabrik gula Pakis pada 1894, lalu membeli pabrik gula Rejoagung, Tanggulangin, Ponen, Krebet.
Total luas lahan lima pabrik gula tersebut mencapai 7.082 hektare.
Baca Juga: Paradoks Luhut Panjaitan: Tak Pernah Telat Naik Pangkat, Namun 'Nangis' di Jabatan
Oei Tiong Ham, Tuan 200 Juta Gulden
Dalam bukunya, Indrawan Sasongko juga menguak fakta bahwa di tahun 1883 kekayaan perusahaan OTH sudah mencapai angka 3 juta gulden.
Saat itu, uang satu ron atau setengah sen (1/200 Gulden) bisa membeli nasi sepincuk (piring dari daun pisang)
Sumber lain, seluruh aset dalam sejarah konglomerasinya mencapai 200 juta Gulden. Kala itu, 1 gulden dapat membeli 20 kg beras. Jika dikonversi, pada 1925 Oei memiliki aset senilai Rp43 triliun.
Baca Juga: Benny Moerdani, Raja Intel 'Anti Islam' yang Pernah Bantu Taliban, Saat Meninggal Sempat Dikafani dan Dibacakan Yasin
Pada puncak kejayaannya sekitar dekade 1920-an, Oei Tiong Ham (OTH) dijuluki sebagai 'Tuan 200 Juta Gulden'.
Dia menjadi pengusaha pertama yang kekayaannya menembus angka 200 juta gulden atau sekitar Rp43 triliun dengan nilai tukar saat ini.
Berbagai surat kabar di Belanda santer memberitakan OTH sebagai sejarah konglomerasi besar Hindia Belanda yang kala itu tak ada tandingannya.
Baca Juga: Tragedi Kecelakaan Nike Ardilla: Cinta Segitiga, Konspirasi, Hingga Dugaan Keterlibatan Keluarga Cendana
"Koran berbahasa Belanda De Locomotief bahkan menyebutnya sebagai orang yang paling kaya di kawasan antara Shanghai dan Australia," tulis Indrawan.
"Bahkan OTH juga menguasai Singapura, bukan hanya memiliki sepetak rumah dan mobil mewah. Sekalipun Singapura negara kecil, seperempat dari seluruh tanah dan bangunan di pulau itu milik konglomerat ini," imbuhnya.
Rockefeller dari Asia
Pada awal abad ke-20, Oei Tiong Ham mendapat julukan Rockefeller dari Asia. Di AS, John D Rockefeller adalah konglomerat minyak bumi yang memiliki Standard Oil and Company New York (SOCONY).