Said Iqbal mengungkapkan, aduan dari para buruh bahwa DKI Jakarta dan Jawa Barat bersiap menggunakan indeks tertentu alias alfa yang rendah.
Baca Juga: Telkom dan CCSI Perkuat Sinergi Pengembangan SKKL SUB-2 untuk Perkuat Konektivitas Nasional
Pihaknya, tegas Iqbal, menolak jika para kepala daerah itu tidak menetapkan UMP 2026 berdasarkan alfa 0,9. Misalnya, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung yang disebut Partai Buruh ingin menggunakan alfa 0,7.
"Kok belum berunding sudah ada instruksi? Seperti Gubernur Jawa Barat (Dedi Mulyadi) 0,5, Gubernur DKI Jakarta (Pramono Anung) 0,7. Ini apa-apaan? Belum berunding sudah instruksi, ini kan gaya-gaya pemerintahan lama," ujarnya.
"Kalau DKI, misal (alfa) 0,5, naiknya (UMP 2026) cuma 4,3 persen. Kita tolak, kalau pakai 0,5 kita tolak total!" tegasnya.
Meski menerima rumus atau formula UMP 2026, Said Iqbal menolak Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan.
Dia menegaskan, perwakilan buruh tidak pernah diajak untuk merumuskan beleid tersebut.
Menurut klaim Iqbal, pihaknya hanya pernah satu kali mengikuti sosialisasi pada 3 November 2025, itu pun hanya berlangsung dua jam.
Dia pun mempertanyakan poin kebutuhan hidup layak (KHL) yang dinilai tidak tertuang dalam peraturan pemerintah tersebut.
"Kalau menggunakan data BPS (Badan Pusat Statistik), seharusnya menggunakan survei biaya hidup yang kita kenal dengan SBH. Hidup di Jakarta bisa Rp15 juta. Tidak mungkin hidup di Jakarta Rp5 juta, menurut survei biaya hidup BPS, sebulannya," tuturnya.
Iqbal berpendapat, isi peraturan pemerintah tersebut menggunakan definisi KHL yang tidak memiliki dasar hukum sehingga merugikan buruh.***