KONTEKS.CO.ID - Pengamat ekonomi, Yanuar Rizky, menilai kebijakan counter-cyclical atau "lawan arus" yang ditempuh pemerintah dengan menjaga suku bunga BI Rate tetap rendah di tengah pengetatan global adalah sebuah pertaruhan berisiko tinggi.
Menurutnya, langkah ini berpotensi gagal karena likuiditas pasar keuangan Indonesia secara fundamental tidak ditentukan oleh Bank Indonesia (BI), melainkan oleh kebijakan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed).
Berdasarkan riset jangka panjang yang ia lakukan sejak 2002 hingga 2014, Yanuar menemukan bahwa setiap ekses likuiditas yang signifikan di pasar Indonesia datang dari kebijakan The Fed, bukan dari BI.
Baca Juga: 3 Dosa Sistemik Polri Menurut Reza Indragiri, Jauh Lebih Gawat dari Brutalitas!
"Kalau The Fed-nya dalam posisi yang siklikalnya itu adalah ngerem, sekarang mau di-countersignal oleh BI melawan itu, berdasarkan hitungan saya long term itu enggak kuat," ujar Yanuar dalam sebuah video yang tayang di kanal Youtube Forum Keadilan TV pada Sabtu, 27 September 2025.
Belajar dari Kegagalan Masa Lalu
Yanuar menjelaskan, teori Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menggantikan likuiditas asing yang mengering dengan likuiditas domestik sulit diwujudkan.
Ia mencontohkan kegagalan kebijakan serupa yang pernah ditempuh pada periode 2005-2006. Saat itu, BI juga melakukan kebijakan counter-cyclical dengan menurunkan BI Rate dengan harapan dapat mendorong ekspor dan perputaran ekonomi.
Baca Juga: Tragis! Remaja Cantik Tewas Usai Implan Payudara, Sang Ayah Bongkar Fakta Mengejutkan
Hasilnya, uang beredar di masyarakat (M0) memang naik, namun uang di perbankan (M1) yang menjadi basis likuiditas justru turun.
"Counter signal itu gagal sebetulnya," tegas Yanuar. Kegagalan ini disebabkan karena devisa hasil ekspor (DHE) tidak masuk ke dalam sistem perbankan domestik.
Para eksportir, meskipun diuntungkan oleh pelemahan rupiah, memilih menyimpan dolarnya di luar negeri.
Risiko Crowding Out dan Pelemahan Rupiah
Memaksakan kebijakan "lawan arus" saat ini, menurut Yanuar, justru akan memicu crowding out atau pelarian modal.
Investor akan memindahkan dananya dari deposito yang bunganya rendah ke instrumen lain yang lebih menarik seperti Surat Berharga Negara (SBN) yang menawarkan kupon tinggi, atau bahkan ke aset aman seperti emas.