Artinya, periode analisis sangat memengaruhi kesimpulan. Terdapat sejumlah teori yang mencoba menjelaskan fenomena ini.
"Banyak yang percaya, setelah libur musim panas, investor kembali di September untuk mengamankan keuntungan, atau bahkan menjual saham demi kebutuhan biaya sekolah anak,” tulis Investopedia.
Tak hanya itu, September bertepatan dengan penutupan kuartal ketiga. Investor institusional, termasuk reksa dana besar kerap melepas saham.
Tujuannya, untuk mencatat laba atau memanen kerugian pajak. Hal ini semakin memperkuat sentimen negatif di bulan ini.
Baca Juga: Analis Militer: Penyebarluasan Identitas Intel Bisa Picu Konflik TNI-Polri
Namun, sebagian ekonom beranggapan efek ini kini tidak lagi relevan.
"Jika dulu pernah ada, kini para trader yang sudah tahu pola ini bertindak lebih dulu sehingga dampaknya hilang,” lanjut Investopedia.
Bahkan disebutkan, sejak 1990-an, penurunan besar di September semakin jarang terjadi.
Sebagian analis menilai investor kini lebih memilih menjual saham lebih awal, misalnya di bulan Agustus, sehingga tekanan di September berkurang.
Baca Juga: Kejagung Dalami Aliran Dana Nadiem Makarim dalam Kasus Pengadaan Laptop Chromebook
"Fenomena ini tidak bisa dijadikan patokan pasti dalam mengambil keputusan investasi,” ungkap laporan Investopedia.
Dengan demikian, fenomena September Effect lebih tepat disebut mitos pasar ketimbang kenyataan yang bisa dipakai sebagai pedoman.
"Bagi sebagian ekonom, mencatat fakta September sering dianggap buruk, tapi bukan berarti satu bulan ini harus jadi yang paling merugi," demikian Investopedia.***