KONTEKS.CO.ID - Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,25 persen pada Rabu 16 Juli 2025, dalam langkah pelonggaran kebijakan moneter keempat sejak September tahun lalu.
Keputusan ini diambil untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang tengah tertekan akibat melemahnya perdagangan global dan permintaan domestik yang melambat.
Sesuai hasil jajak pendapat Reuters, mayoritas tipis ekonom memperkirakan penurunan ini. Selain memangkas suku bunga 7-day reverse repurchase rate, BI juga menurunkan suku bunga fasilitas simpanan (deposit facility) menjadi 4,50 persen dan suku bunga fasilitas pinjaman (lending facility) menjadi 6,00 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan dalam konferensi pers bahwa langkah tersebut sejalan dengan kebutuhan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Baca Juga: Kasus Dana CSR Bank Indonesia, KPK Fokus ke Anggota DPR Heri Gunawan dan Satori, Jadi Tersangka?
Pertumbuhan ekonomi Indonesia telah melambat pada kuartal pertama 2025, terutama akibat konsumsi rumah tangga yang lesu.
Prospek pada kuartal-kuartal berikutnya pun masih dibayangi ketidakpastian, terutama setelah Amerika Serikat memberlakukan tarif impor baru sebesar 19 persen untuk produk Indonesia.
Sehari sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif tersebut sebagai bagian dari kesepakatan dagang baru dengan Indonesia.
BI sendiri memproyeksikan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2025 berada dalam kisaran 4,6 persen hingga 5,4 persen.
Baca Juga: Donald Trump Ingin Ganti Ketua The Fed, Serukan Pemangkasan Suku Bunga
Sementara target resmi pemerintah adalah 5,2 persen. Presiden Prabowo Subianto sebelumnya telah menyatakan komitmennya untuk mendorong pertumbuhan hingga mencapai 8% pada akhir masa jabatannya di 2029.
Sebelum keputusan hari ini, BI sudah tiga kali memangkas suku bunga sejak September 2024.
Namun, di sela-sela kebijakan tersebut, BI sempat menahan suku bunga untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah tekanan dari kebijakan dagang Presiden Trump dan ketegangan geopolitik global.***