Absennya regulasi yang setara dengan lembaga keuangan tradisional membuka celah lebar kepada pencucian uang dan lemahnya perlindungan konsumen.
Otoritas moneter juga menilau kecenderungan berlanjut perang dan polarisasi perdagangan akibat kebijakan tarif sepihak Amerika Serikat (AS), yang menggeser fokus dari kerja sama multilateral menjadi bilateral dan regional.
Baca Juga: Rebut Emas, New Straits Times Ungkap Kedigdayaan Bulu Tangkis Putra Indonesia atas Malaysia
Kombinasi dari leverage NBFIs yang tak bisa diprediksi, utang publik yang menggununng, aset digital tak terkendali, hingga perang dagang ini terjadi di tengah proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang stagnan.
BI memprakirakan ekonomi dunia pada 2026 akan melambat ke level 3,0%, lebih rendah dari estimasi 2025 sebesar 3,1%.
Dalam laporan yang sama, BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di rentang 4,9-5,7% pada 2026.
Sementara itu, inflasi diramal berada 2,5±1%, transaksi berjalan 0,2 sampai dengan -1% dari PDB, serta pertumbuhan kredit perbankan di rentang 8-12%. ***
Artikel Terkait
Bank Indonesia Fokus Stablecoin untuk Memperkuat Posisi Rupiah Global
Cadangan Devisa Indonesia Naik Jadi Rp2.500 Triliun, Begini Kata Bank Indonesia
Utang Luar Negeri Indonesia Turun Jadi Rp7.045 Triliun, Ini Penjelasan Terbaru Bank Indonesia
Bank Indonesia Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi 2025 Tembus 5,5 Persen, Ini Dasarnya
Gubernur Bank Indonesia Tegaskan Urgensi Rupiah Digital di Hadapan Presiden Prabowo