Meski demikian, Shinta mengingatkan bahwa rendahnya tarif bukan satu-satunya faktor penentu peningkatan ekspor. Menurutnya, biaya logistik yang tinggi dan regulasi yang rumit masih menjadi penghambat utama dalam meningkatkan efisiensi usaha.
"Walaupun sekarang kita sudah punya tarif bagus, tapi deregulasi dan cost of doing business di Indonesia harus kita perbaiki. Itu sudah kami sampaikan ke pemerintah," tegasnya.
Shinta berharap kebijakan penurunan tarif ini bisa diiringi dengan reformasi struktural di dalam negeri agar pengusaha dapat merespons peluang ekspor secara lebih cepat dan efisien.
Momentum Strategis Jelang Pemilu AS dan Ketegangan Dagang Global
Kebijakan Trump yang cenderung mengejutkan ini datang di tengah tensi dagang yang masih tinggi antara AS dengan sejumlah mitra dagang utamanya seperti Uni Eropa dan China.
Baca Juga: Kejagung Pantau Keberadaan Riza Chalid, Terakhir Terdeteksi Berada di Malaysia
Indonesia dinilai bisa mengambil peluang dari ketegangan tersebut dengan memperkuat kerja sama bilateral dan menambah nilai tambah produk ekspor.
Pemerintah Indonesia sendiri disebut tengah menyiapkan paket insentif tambahan dan kemudahan akses pembiayaan untuk sektor ekspor unggulan guna mengoptimalkan dampak dari tarif baru tersebut.
“Penurunan tarif ini harus kita manfaatkan secara maksimal. Bukan hanya mempertahankan pasar lama, tetapi juga menambah volume ekspor dengan produk bernilai tambah,” tutup Febrio. ***
Artikel Terkait
Program BNI Xpora Sukses Antar UMKM Kopi Frinsa Ekspor ke Pasar Global: USD1 Juta!
Surplus Neraca Perdagangan Indonesia Mei 2025 Tembus Rp69,6 Triliun, Kinerja Ekspor Meningkat
Dipancing Diskon, Ekspor Minyak Sawit Indonesia Melonjak 53 Persen
Perakit Bus Indonesia Bidik Pasar Ekspor ke Sri Lanka
Pemerintah Revisi Kebijakan Ekspor Pasir Laut Usai Putusan Mahkamah Agung