Bayangkan jika harga barang terus turun dari minggu ke minggu, lalu konsumen akan memilih menunda pembelian dengan harapan harga makin murah.
Akibatnya, penjual kehilangan pendapatan, stok menumpuk, produksi menurun, dan akhirnya PHK bisa terjadi.
Baca Juga: Akhirnya Inflasi Tipis-Tipis Terjadi di Bulan Oktober Setelah Deflasi Sejak Mei 2024
Uang berhenti berputar, dan ekonomi menjadi lesu.
Kenapa Stabil Lebih Baik?
Seperti aliran darah dalam tubuh, inflasi yang stabil dan terukur sangat penting bagi kesehatan ekonomi.
Pemerintah Indonesia menargetkan inflasi 2025 berada di kisaran 2,5% ± 1%, sebuah angka yang dianggap ideal agar produsen tetap untung dan masyarakat masih mampu berbelanja.
Terlalu deras (inflasi tinggi) atau terlalu lambat (deflasi) sama-sama berisiko bagi ekonomi.
Baca Juga: Perbedaan Inflasi dan Deflasi
Itulah mengapa pemerintah dan Bank Indonesia, melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID), terus bekerja menjaga agar harga tetap terkendali dan pertumbuhan tetap berjalan.
Mana Lebih Berbahaya?
Baik inflasi maupun deflasi memiliki sisi positif dan negatif. Inflasi menandakan ekonomi tumbuh, tapi harus dikendalikan.
Sementara deflasi bisa terlihat menguntungkan di awal, tapi bila berkepanjangan, akan menekan produsen dan memperlambat roda ekonomi.
Maka paling penting adalah keseimbangan karena pada akhirnya, ekonomi yang sehat bukan soal harga murah atau mahal, tapi soal daya beli masyarakat, lapangan kerja yang tersedia, dan kesejahteraan yang merata.***
Artikel Terkait
Harga Emas Terbang meski Inflasi AS Naik dan The Fed Tetap Hawkish
Harga Emas Tergelincir Kena Aksi Taking Profit, Imbas Inflasi AS
Indikasi Inflasi AS Melemah, Bitcoin Melesat ke Level Rp1,139 Miliar
Ekonomi AS Terancam! Panic Buying dan Inflasi Jadi Efek Domino Kebijakan Tarif Donald Trump