KONTEKS.CO.ID - Industri batu bara Indonesia menghadapi tekanan yang semakin besar seiring turunnya permintaan dari pasar utama seperti China dan India.
Informasi ini menurut laporan lembaga kajian energi Energy Shift yang berbasis di Jakarta.
Laporan yang dirilis Selasa 17 Juni 2025 ini menyatakan industri batu bara, yang menyumbang sekitar 3,6 persen terhadap aktivitas ekonomi nasional dan mempekerjakan puluhan ribu orang, perlu segera melakukan diversifikasi ke energi bersih.
Jika tidak, industri berisiko menghadapi transisi mahal di masa depan.
Baca Juga: Ekspor Batu Bara Indonesia Turun 11 Juta Ton pada Kuartal I 2025
Indonesia merupakan pengekspor batu bara terbesar di dunia dan masih mencatat rekor produksi 836 juta ton pada 2024, yang berarti naik hampir 8 persen dari tahun sebelumnya.
Namun, ketergantungan pada hanya beberapa pembeli besar, seperti China dan India yang membeli hampir dua pertiga ekspor batu bara Indonesia pada 2023, menjadi kelemahan struktural.
China masih menggunakan batu bara untuk lebih dari setengah kebutuhan listriknya.
Mereka menyumbang 41 persen dari impor batu bara global pada 2024.
Baca Juga: Hilirisasi Batu Bara Masih Terpaku Pada Gasifikasi
Meski begitu, lebih dari 75 persen pertumbuhan permintaan energi tahun lalu dipenuhi dari sumber energi bersih.
Sementara, impor batu bara India turun 8,4 persen menjadi 183,42 juta ton metrik dari April hingga Desember 2024, dibandingkan 200,19 juta ton pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Penurunan ini sejalan dengan strategi India untuk mengurangi ketergantungan impor dengan meningkatkan produksi domestik.
Impor untuk industri seperti semen, baja, dan aluminium turun 12 persen, dan untuk pembangkit listrik turun hingga 29,8 persen.
Artikel Terkait
Ngeri, 63 Jasad Penambang Batu Bara Ini Baru Ditemukan setelah 18 Tahun Berlalu
Pemerintahan Prabowo Genjot Gasifikasi Batu Bara, Targetkan Dimethyl Ether Gantikan LPG