KONTEKS.CO.ID - Institut Usba menegaskan bahwa sengketa tiga pulau yaitu Pulau Sain, Pulau Piyai, dan Pulau Kiyas berada dalam wilayah Raja Ampat berdasarkan kajian sejarah, administratif, dan budaya. Meski begitu, Institut Usba mendorong dialog harmonis antara Kabupaten Halmahera Tengah (Provinsi Malut) dan Pemprov Papua Barat Daya.
"Ketiga pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Raja Ampat yang diperkuat oleh pernyataan beberapa kepala suku adat yang menyatakan ketiga pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Raja Ampat. Pulau terebut juga merupakan tempat moyang yang dikubur, tempat mencari masyarakat, tempat menjaga penyu yang dilakukan Yayasan Penyu Papua di Raja Ampat, ujar Direktur Institut Usba Charles Imbir lewat pernyataan tertulis ke redaksi, Selasa 23 September 2025.
Menurut dia, sengketa atas Pulau Sain, Pulau Piyai, dan Pulau Kiyas bukanlah sekadar masalah administratif, melainkan persoalan keadilan sejarah, identitas budaya, dan hak leluhur yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Charles berharap pemerintah pusat dan daerah akan mendengarkan suara masyarakat adat, mengambil tindakan yang berdasarkan fakta sejarah dan legalitas, serta memprioritaskan persatuan dan keharmonisan di tengah keragaman budaya.
"Kami percaya bahwa dengan usaha bersama—adat, pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil—keutuhan adat dan wilayah adat akan terjaga, sehingga sengketa seperti ini tidak terulang di masa mendatang," kata Charles.
Oleh sebab itu, Institut Usba mendorong agar masyarakat adat di Malut dan Raja Ampat duduk bersama dalam suasana dialog yang harmoni. Sebab, persatuan antarkomunitas adat adalah kunci menjaga kedamaian dan menghormati sejarah serta leluhur.
Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Desak Program MBG Disetop Sementara: Perlu Evaluasi Total
Charles meminta agar forum pertemuan adat itu difasiltasi oleh Kemendagri dengan melibatkan tokoh Raja Ampat, Maluku Utara, akademisi, dan kementerian teknis guna melakukan verifikasi sebagai bagian dari upaya resolusi konflik berbasis adat dan fakta sejarah.
Gali Jejak Budaya Lewat Penelitian
Selain itu, demi kebaikan kemanusiaan dan pelestarian identitas adat, Institut Usba meminta pemerintah menggali lebih dalam jejak budaya melalui penelitian arkeologi, sejarah, antropologi, dan budaya, agar fakta-fakta masa lalu tervalidasi dan dihormati.
"Penelitian budaya harus dilakukan secara partisipatif, melibatkan tokoh adat, masyarakat lokal, dan akademisi, dengan hasil yang dapat diakses publik sebagai warisan kolektif bangsa," urai Charles.
Baca Juga: Politisi senior Romahurmuziy Sebut 99 Persen Pejabat Itu Korup, Pembedanya Cuma Nasib dan Sedekah
Beriringan dengan itu, penetapan batas antarkabupaten atau provinsi tidak dilakukan secara sepihak tanpa konsultasi adat dengan mengabaikan sejarah, peta kewilayahan adat, serta dokumen legal yang ada. Ini penting agar tidak memisahkan masyarakat adat dari wilayah adat mereka sendiri.
"Proses pemekaran dan penetapan batas administratif harus diiringi dengan pendataan adat yang sah, peta wilayah adat yang diakui, dan masyarakat adat harus menjadi pihak yang dilibatkan penuh dalam mengambil keputusan," imbuhnya.
Hal penting lainnya menyangkut otonomi khusus. Menurut Charles, otonomi khusus tidak hanya berkaitan dengan kewenangan dan anggaran, tetapi juga harus fokus pada pengelolaan tata ruang wilayah adat serta sumber daya alam secara bermartabat dan setara.