KONTEKS.CO.ID – Guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof Bambang Sudarmanta angkat bicara terkait rencana pemerintah mewajibkan pencampuran bahan bakar minyak (BBM) dengan bioetanol sebesar 10% atau E10.
Regulasi tersebut memanng positif guna mendorong energi bersih, tapi memunculkan kekhawatiran soal dampaknya pada mesin kendaraan.
Meluruskan kekhawatiran publik tersebut, Prof Bambang Sudarmanta, mengatakan, bioetanol merupakan salah satu bahan bakar alternatif yang potensial, terbarukan, dan ramah lingkungan.
Baca Juga: Samsung Galaxy Tab S11 Ultra, Tablet Flagship dengan Layar Raksasa dan Performa Tinggi
Senyawa yang mempunyai rumus molekul C₂H₅OH ini memiliki sifat fisikokimia yang relatif mendekati bensin. “Sehingga bisa digunakan sebagai campuran (blending fuel) maupun pengganti sebagian bensin (substitute fuel),” katanya, mengutip laman ITS, Selasa 11 November 2025.
Ia mennjelaskan, bioetanol bersifat karbon netral. Dengan demikian, emisi karbondioksida (CO₂) hasil pembakarannya dapat diserap kembali oleh tanaman penghasil bahan baku.
Selain itu, potensi bahan baku seperti tebu dan singkong yang melimpah turut menjadikan bioetanol sebagai solusi gunna menekan emisi dan memperkuat ketahanan energi nasional.
Cocok untuk Semua Jenis Kendaraan dan Usia Mesin
Meski mempunyai potensi besar untuk dikembangkan, Dosen Departemen Teknik Mesin ITS ini mengatakan, rencana penerapan bioetanol rupanya menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
Sejumlah pihak meragukan kesesuaian bahan bakar ini terhadap kendaraan konvensional di Indonesia yang mempunyai beragam tipe dan usia mesin.
Bukan hanya itu, sifat higroskopisitas bioetanol pun menimbulkan keraguan akan penggunaannya di iklim tropis Indonesia.
Menjawab kekhawatiran yang ada, Bambang membeberkan hasil penelitian yang telah ia lakukan terkait performa mesin dengan campuran bioetanol.
Bambang mengungkapkan, pencampuran 5-10% bioetanol pada bensin relatif tidak mengurangi performa daya dari kendaraan.