KONTEKS.CO.ID – Posko Nasional untuk Sumatera, terdiri dari 21 organisasi masyarakat sipil, menyatakan, pemerintah lamban, tidak memadai, dan gagal membaca situasi faktual di lapangan pascabencana banjir dan longsor juga terjadi Sumatera Utara (Sumut).
“Di Sibolga, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, puluhan titik longsor membuat sejumlah desa sepenuhnya terisolir,” kata Maulana Sidiq, perwakilan Posko Nasional untuk Sumatera dari WALHI Sumatera Utara, Minggu, 14 Desember 2025.
Ia mengungkapkan, warga harus berjalan menembus longsor untuk menjemput bantuan. Krisis air bersih meluas karena PDAM rusak. Di Batang Toru, gelondongan kayu yang terseret banjir merusak jembatan dan rumah warga.
Baca Juga: Misteri Kayu Gelondongan di Sumut Temui Titik Terang, Kapolri: Tersangka Sudah Kita Temukan!
Di Tapanuli Selatan, 22 orang tertimbun longsor di wilayah perkebunan dan dimakamkan secara massal. Pencarian korban terhambat minimnya tenaga, keterbatasan alat berat, dan pemadaman listrik yang belum teratasi.
Sumatera Barat (Sumbar) juga menghadapi dampak serupa. Banyak nagari terputus akibat jembatan runtuh dan sungai meluap.
“Tenda pengungsian belum layak; anak-anak, perempuan, dan laki-laki masih bercampur sehingga risiko kekerasan seksual meningkat bila penanganan tidak tepat,” kata Lany Verayanti dari Posko Sumbar Pulih.
Pemerintah harus menyediakan tenda terpisah dan mempertimbangkan potensi konflik ulayat jika ada rencana relokasi karena struktur kepemilikan adat di Sumbar sangat kuat.
"Minimnya respons pemerintah pusat membuat warga di berbagai lokasi mendirikan hunian sementara secara swadaya," kata Edy K. Wahid, Pengacara Publik dari YLBHI.
Atas dasar itu, warga di tiga provinsi mendesak Presiden Prabowo segera menetapkan Status Bencana Nasional, mengingat banyaknya korban, lambatnya distribusi logistik, dan potensi warga selamat yang justru meninggal kelaparan karena keterlambatan bantuan penanganan.
Penetapan Status Bencana Nasional dinilai penting untuk membuka akses bantuan internasional, mempercepat mobilisasi helikopter dan alat berat, serta memperluas kapasitas koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Ia menegaskan, dalam prinsip Maximum Available Resources, negara wajib memaksimalkan seluruh sumber daya untuk menjamin keselamatan rakyat.
“Parameter dalam UU 24/2007 dan PP 21/2008 sudah terpenuhi. Ini sudah masuk kategori kelalaian negara,” tegas Edy.***