KONTEKS.CO.ID - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap penelitian terbaru terkait masih lemahnya sistem penanganan kasus kejahatan yang melibatkan mata uang kripto di Indonesia.
Studi berbasis wawancara mendalam dengan aparat penegak hukum, akademisi, hingga regulator menunjukkan adanya persoalan kritis menyangkut pada aspek koordinasi antarlembaga. Kemudian kesiapan sumber daya manusia (SDM), dan ketidakjelasan posisi hukum kripto secara regulatif.
Temuan itu disampaikan Aghia Khumaesi, peneliti Pusat Riset Hukum BRIN, pada Seminar Naskah Publikasi Rumah Program Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) yang digelar secara daring.
Baca Juga: 'Sugar Baby' Series, Drama Komedi Ceritakan Satu Geng Perempuan Cantik
“Kripto merupakan salah satu media transaksi digital yang berkembang pesat. Data menunjukkan Asia memimpin jumlah kepemilikan kripto di tingkat global, dan Indonesia menduduki peringkat ke-3 pasar kripto dunia,” ungkap Aghia di Jakarta, mengutip Minggu 30 November 2025.
Dalam paparannya, Aghia menjelaskan, lonjakan pemanfaatan kripto tidak berbanding lurus dengan kesiapan sistem hukum nasional dalam menangani kejahatan yang melibatkan aset digital tersebut.
Salah satu hambatan krusial ada pada koordinasi antar aparat penegak hukum.
“Banyak permasalahan setelah kita mewawancara para penegak hukum yang berbeda. Misalnya polisi sudah sampai tahap tertentu, namun saat sampai di kejaksaan proses tersendat, terutama pada tahapan penelusuran dompet aset digital,” bebernnya.
Aghia menjelaskan, tidak adanya pedoman yang seragam di antara kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan membuat penegakan hukum berjalan tidak efektif.
Di samping itu, sambung dia, kemampuan aparat dalam menangani kejahatan digital juga masih perlu ditingkatkan. Kompleksitas modus pelaku, terutama terkait pelacakan aset kripto, belum dapat diimbangi oleh sebagian besar penegak hukum.
“Terdapat kesenjangan kompetensi antara pelaku kejahatan yang semakin canggih dengan penegak hukum. Aparat mengaku kesulitan mengejar modus operandi pelaku, khususnya dalam pelacakan aset,” jelasnya.
Hambatan substansial lainnya berasal dari status hukum kripto yang belum sinkron dengan praktik kriminalitas digital di lapangan. Saat ini, kripto dikategorikan sebagai komoditas, bukan alat pembayaran.
Baca Juga: Hebat, Teknisi Indonesia Robet B Simanullang Juara di World Technician Grand Prix 2025