Damar kemudian mengirim surat permintaan audiensi kepada rektor pada 12 November 2025 untuk memperoleh penjelasan. Namun hingga kini surat tersebut belum direspons dengan alasan rektor sedang berada di luar negeri.
Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (EN-LMID) mengecam keras keputusan kampus. Ketua Umum LMID, Tegar Afriansyah, menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk represi terhadap ruang diskusi mahasiswa.
“Skorsing terhadap Damar adalah bentuk pembungkaman terhadap pikiran kritis. Kampus yang seharusnya menjadi ruang produksi ilmu pengetahuan justru berubah menjadi alat kekuasaan yang takut terhadap sejarah,” ujar Tegar.
Ia menambahkan bahwa keputusan tersebut menandai kemunduran demokrasi di lingkungan pendidikan tinggi.
Baca Juga: Sudah 8 Bulan Menghilang, Polda Metro Turunkan Tim Khusus Cari Bocah Hilang di Masjid Pesanggrahan
“Jika kampus menutup ruang diskusi dan melarang mahasiswa berpikir kritis, maka kita sedang menyaksikan kembalinya semangat Orde Baru dalam wajah baru,” katanya.
LMID menuntut agar UTA’45 segera mencabut skorsing, memulihkan seluruh hak akademik Damar, menghentikan intimidasi terhadap aktivitas intelektual mahasiswa, serta meminta Kemendikbudristek menindak tegas dugaan pelanggaran kebebasan akademik tersebut.
Kasus ini kembali memunculkan perdebatan mengenai batasan kegiatan mahasiswa di perguruan tinggi. Diskusi mengenai topik sejarah, terutama figur politik seperti Soeharto, kerap dianggap sensitif, namun dalam dunia akademik kajian sejarah seharusnya dapat dilakukan secara terbuka dan kritis.
Baca Juga: Operasi Zebra 2025 Digelar Serentak Besok, Polisi Cari 10 Pelanggaran Pengendara Motor dan Mobil
UU Pendidikan Tinggi sendiri menjamin kebebasan akademik bagi mahasiswa dan dosen. Tindakan kampus yang represif terhadap diskusi dapat menimbulkan iklim ketakutan dan menghambat proses pembelajaran.
Laporan: Tim Magang/ Konteks.***