nasional

Desakan Pemecatan Atalia, Kusfiardi: Buntut Anggota DPR Tak Paham Amanat Konstitusi

Selasa, 21 Oktober 2025 | 14:12 WIB
Analis ekonomi politik FINE Institute, Kusfiardi, mengungkap akar masalah tuntutan publik terhadap gerakan tuntutan pemecatan anggota DPR Atalia Praratya. (Tangkapan Layar YouTube Forum Keadilan TV)

KONTEKS.CO.ID - Analis ekonomi politik, Kusfiardi, mengatakan, gelombang tuntutan pemecatan anggota DPR, Atalia Praratya, harus dibaca sebagai momen reflektif untuk seluruh anggota Dewan.

Yakni, momen reflektif guna meninjau kembali sejauh mana legislator sungguh-sungguh memahami dan memperjuangkan pelaksanaan Pasal 31 UUD 1945 dalam setiap kebijakan pendidikan nasional.

Desakan publik sendiri hingga 17 Oktober kemarin masih terus menggema. Khususnya dari kalangan santri, meskipun Partai Golkar maupun DPR belum memberikan sinyal Langkah tegas.

Baca Juga: Indonesia segera Pulangkan WN Inggris yang Divonis Mati

“Demonstrasi yang digelar Forum Santri Nusantara (FSN) Bandung Raya di rumah Atalia pada 14 Oktober menjadi sorotan publik,” katanya, mengutip keterangan resminya, Selasa 21 Oktober 2025.

Massa yang datang menuntut permintaan maaf terbuka dari Atalia, sekaligus pemecatan oleh Ketua Umum DPP Partai Golkar Bahlil Lahadalia. Tuntutan ini adalah buntut pernyataan Atalia yang dinilai tak sensitif terhadap penggunaan APBN untuk rekonstruksi Ponpes Al Khoziny di Sidoarjo, Jatim.

Kusfiardi menegaskan, sebenarnya tugas seorang wakil rakyat tak sekadar membuat undang-undang. Namun juga memastikan bahwa setiap warga negara memperoleh haknya atas pendidikan yang adil dan bermartabat.

Baca Juga: Skandal Robot Trading Fahrenheit, Jaksa Terlibat Penilapan Barang Bukti Kembalikan Uang

Dalam konteks ini, kata dia, legislatif seharusnya menjadi garda konstitusional yang memastikan kebijakan pendidikan berpijak pada prinsip keadilan sosial dan kesetaraan akses bagi semua.

Karena itu, publik menuntut agar anggota DPR benar-benar menegakkan amanat konstitusi, bukan sekadar menjadikannya jargon politik.

“Ketika publik mempersoalkan sikap anggota DPR terhadap bantuan bagi pesantren, yang disoroti bukan sekadar persoalan teknis anggaran, melainkan ketidakadilan struktural dalam sistem pendidikan nasional,” tandasnya.

Kusfiardi menuturkan, bantuan negara kepada pesantren bukanlah “pemberian istimewa”. Ini adalah bagian dari kewajiban konstitusional yang semestinya berlaku bagi seluruh lembaga pendidikan—baik negeri, swasta, madrasah, maupun lembaga berbasis komunitas.

Baca Juga: Ledakan Pariwisata Bali Mengancam Pulau Dewata

“Negara tidak sedang memberi keistimewaan kepada satu golongan, tetapi menjalankan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh Pendidikan,” paparnya.

Halaman:

Tags

Terkini