KONTEKS.CO.ID - Kasus dugaan korupsi tata kelola bahan bakar minyak (BBM) yang menjerat mantan Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, kini bergulir ke babak baru
Dalam surat dakwaan yang dibacakan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus), sejumlah perusahaan tambang besar tercantum sebagai pihak yang disebut menerima manfaat dari harga solar non-subsidi di bawah ketentuan pasar pada periode 2021–2023.
Nama-nama besar seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Adaro Indonesia, dan PT PAMA Persada Nusantara tercatat dalam dokumen dakwaan tersebut. Namun, pengamat hukum menilai penyebutan ini tidak serta merta menandakan adanya pelanggaran dari sisi pembeli BBM.
“Singkatnya, jaksa menuduh bahwa terdakwa menjual BBM non-subsidi kepada perusahaan swasta dengan harga yang lebih murah dari harga jual minimum (bottom price) yang seharusnya, bahkan ada yang lebih rendah dari harga pokok produksi Pertamina Patra Niaga,” jelas pengamat hukum, Fernandes Raja Saor, Kamis, 17 Oktober 2025.
Menurutnya, dalam rantai bisnis migas, pembeli tidak punya kendali atas perhitungan harga dasar, sebab mereka tunduk pada harga penawaran resmi dari pemasok.
“Pembeli kan biasanya menggunakan proses tender untuk mencari harga termurah, dan selama ini membeli BBM dari Patra Niaga karena selalu ditawarkan harga termurah. HPP dan Bottom Price Patra Niaga kan bukan informasi umum juga jadi wajar kalau pembeli tidak mengetahui harganya berapa,” ujarnya.
Kerugian Negara dan Potensi Penagihan
Dalam dakwaan, kerugian negara akibat praktik harga di bawah pasar itu mencapai Rp2,54 triliun. Dari jumlah tersebut, PT Adaro Indonesia disebut menerima selisih manfaat sekitar Rp168,5 miliar, Vale Indonesia sebesar Rp62,1 miliar, dan PAMA sekitar Rp958 miliar.
Fernandes menjelaskan, pemerintah dapat melakukan penagihan administratif atas kekurangan bayar tersebut, tetapi nilainya sebaiknya didasarkan pada perhitungan yang adil.
“Selama ini pembeli sudah menikmati harga yang lebih murah dari seharusnya. Jika tidak ada pengembalian, hal itu bisa dianggap sebagai keuntungan yang tidak semestinya (unjust enrichment). Namun, agar adil, jumlah yang dikembalikan sebaiknya tidak serta merta didasarkan pada HPP atau harga jual Pertamina,” ujarnya.
Ia menilai, perhitungan selisih harga perlu mempertimbangkan pula harga penawaran dari pemasok lain dalam tender pembeli, bukan semata patokan Pertamina.
Belum Ada Korporasi Jadi Tersangka
Hingga kini, Kejaksaan belum menetapkan satu pun perusahaan sebagai tersangka. Fokus penyidikan masih tertuju pada dugaan penyimpangan tata kelola internal di Pertamina Patra Niaga, khususnya dalam proses persetujuan harga dan evaluasi profitabilitas.