KONTEKS.CO.ID – Wakil Ketua Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi Pusat, Guntur Perdamaian, mengatakan, ada sanksi bagi advokat yang tidak memberikan bantuan hukum cuma-cuma atau gratis (probono) kepada masyarakat miskin minimal 50 jam per tahun.
"Sanksi sudah jelas dan tegas sebenarnya di Peraturan Peradi Nomor 1 Tahun 2010, itu terkait dengan pelaksanaan 50 jam kegiatan probono, itu ada sanksinya," kata Guntur dalam PKPA Angkatan VIII DPC Peradi Jakarta Barat (Jakbar) bekerja sama dengan UPN Veteran dan Ikadin di Jakarta.
Salah satunya, lanjut Guntur secara daring pada Jumat petang, 10 Oktober 2025, yakni perpanjangan masa aktif Kartu Tanda Advokat (KTA)-nya akan ditunda karena probono merupakan salah satu syaratnya.
"Ketika dia melakukan permohonan perpanjangan kartu, itu akan ditunda terlebih dahulu," ujarnya.
Aturan sanksinya juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.
Berdasarkan UU Advokat, terdapat saksi bagi advokat, yakni mulai dari teguran lisan, tertulis, pemberhentian sementara hingga tetap sebagai advokat. Misalnya, advokat dilaporkan karena meminta imbalan atau uang dalam pelaksanaan probono.
"Itu semua dikualifikasi sesuai dengan pelanggarannya dan itu masuk dalam ranah etik," ujarnya.
Peradi, lanjut Guntur, mempunyai Dewan Kehormatan untuk memproses dugaan pelanggaran etik yang akan dilakukan oleh advokat. Nantinya, Dewan Kehormatan akan memutuskan.
"Nanti akan diperiksa, akan diadili apakah pelanggaran itu masuk dalam kriteria-kriteria mana. Apakah cukup dengan terguruan lisan, tertulis atau harus memang diberhentikan sementara atau ditunda kartunya atau diberhentikan secara tetap," ujarnya.
Ia menegaskan, demikian juga Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang melakukan pelanggaran dalam memberikan probono. Sanksinya sebagaimana di atur UU Bantuan hukum dan PP di atas.
"[Sanksi di antaranya] pemerintah yang langsung mencabut akreditasi LBH dari advokat," ujarnya.
Menurutnya, berdasarkan keterangan dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), banyak LBH yang tidak lolos verifikasi atau akreditasi dicabut atau diturunkan karena pelanggaran meminta imbalan terkait probono.
"BPHN ada banyak sekali LBH-LBH yang kemudian tidak lolos verifikasi karena ketahuan melakukan hal yang demikian," ujarnya.
Guntur menegaskan, dengan demikian, mau memakai rezim perundang-undangan dan peraturan manapun, sepanjang terbukti melanggar Kode Etik Advokat Indonesia dalam pemberian probono, itu ada sanksinya.
"Jadi mau rezim manapun, undang-undang manapun, semua memiliki sanksi yang jelas dan tegas," katanya.***