KONTEKS.CO.ID - Selama satu dekade terakhir, kebijakan fiskal Indonesia secara strategis lebih diarahkan pada pembangunan infrastruktur masif.
Namun, menurut pakar pertahanan Andi Widjajanto, pilihan ini membawa konsekuensi besar.
Hal tersebut seperti anggaran pertahanan yang "dikorbankan" dan stagnan di level 0,7% dari PDB, serta menghambat ambisi Presiden Prabowo Subianto untuk modernisasi alutsista.
Baca Juga: Berantas Rokok Ilegal, Menkeu Purbaya Razia Besar-besaran Marketplace hingga Warung Kecil
Andi menjelaskan, ambisi Prabowo untuk menjalankan politik luar negeri yang lebih aktif dan memiliki otonomi strategis yang kuat sangat bergantung pada kekuatan militer yang modern.
Tanpa dukungan alutsista yang mumpuni, daya tawar Indonesia di panggung global dinilai lemah.
Namun, upaya modernisasi ini membutuhkan ekspansi fiskal yang signifikan, sesuatu yang sulit terwujud di era sebelumnya.
Menurut analisisnya, penghambat utama adalah "mazhab Milton Friedman" atau moneterisme yang dianut oleh duet Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.
Paham ekonomi ini, jelas Andi, cenderung memprioritaskan stabilitas moneter dan seringkali bertindak sebagai "rem".
"Mazab Milton Freedman itu yang dilakukan oleh duet Ibu Sri Mulyani dengan Pak Peri di Bank Indonesia, ngerem terus. Begitu ada tanda-tanda ekspansi fiskal yang bukan ke kesejahteraan bukan ke infrastruktur, di rem," ujar Andi dalam video yang diunggah di kanal Youtube Akbar Faizal Uncensored, 22 September 2025.
Salah satu contoh nyata dari "rem fiskal" ini, menurut Andi, adalah ketika Prabowo di awal jabatannya sebagai Menteri Pertahanan mengusulkan anggaran modernisasi sebesar Rp1.700 triliun.
Rencana besar tersebut pada akhirnya "enggak kejadian", yang diyakini karena tidak sejalan dengan kebijakan moneter saat itu.