KONTEKS.CO.ID - Ekonom Antoni Budiawan menilai pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia selama satu dekade terakhir lebih banyak menguntungkan segelintir oligarki ketimbang rakyat.
Dalam Video Youtube yang diunggah pada akun Forum Keadilan TV pada 7 September 2025 tersebut, ia menyebut kondisi ini membuat Indonesia layak disebut sebagai “negara swasta”, di mana negara berperan layaknya korporasi dengan presiden sebagai CEO dan rakyat hanya menjadi buruh kecil.
“Pendapatan negara bukan pajak dari SDA pada 2024 hanya Rp250 triliun, sekitar 1,2 persen dari PDB. Sisanya mengalir ke pemilik konsesi tambang dan perkebunan, termasuk asing,” ujar Antoni.
Baca Juga: 64 Anak Jadi Tersangka Demo Ricuh Jatim, Emil Dardak Minta Fokus Membina Bukan Menghukum
Ia mencontohkan seorang konglomerat batu bara di Kalimantan bernawa Low Tuck Kwong yang kekayaannya naik Rp148 triliun hanya dalam setahun saat harga batu bara melonjak.
Menurut Antoni, Undang-Undang Minerba dan Cipta Kerja justru memperkuat dominasi swasta besar. Proyek strategis nasional (PSN) pun sebagian besar diberikan kepada perusahaan besar maupun asing, bukan BUMN.
Akibatnya, swasta menengah terjepit, kelas menengah melemah, dan 68 persen rakyat masuk kategori miskin berdasarkan data Bank Indonesia.
Baca Juga: Menkeu Purbaya Guyur Rp200 Triliun ke Enam Bank Himbara Mulai Besok
“Ini jelas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dikuasai negara seharusnya berarti dikelola negara untuk kemakmuran rakyat, bukan sekadar memberi konsesi,” tegasnya.
Ia juga menyoroti subsidi biodiesel triliunan rupiah yang justru menguntungkan taipan sawit, serta proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang membengkak hingga USD1,2 miliar. “Seharusnya diusut dulu, karena ada potensi kerugian negara,” kata Antoni.
Lebih jauh, ia menilai lemahnya penegakan hukum dan pelemahan KPK membuat praktik korupsi dan kolusi berjalan mulus.
“Selama pelanggaran ini dianggap normal dan tidak ada efek jera, sulit bagi negeri ini untuk bangkit,” ujarnya.
Antoni mengingatkan, jika tren ini terus berlanjut, Indonesia berisiko menghadapi krisis fiskal lebih dalam.