KONTEKS.CO.ID - Pemerintah kembali mengusik definisi rumah layak huni.
Kali ini melalui rencana Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang mempertimbangkan untuk mengecilkan ukuran minimum rumah subsidi.
Dalam draf regulasi yang tengah digodok, rumah subsidi bisa memiliki bangunan seluas hanya 18 meter persegi di atas tanah 25 meter persegi.
Alasan pemerintah sederhana: harga tanah yang terus melambung dan kebutuhan mendesak akan hunian terjangkau di dekat kawasan perkotaan.
Namun rencana ini justru memantik penolakan dari internal pemerintah sendiri. Suara paling lantang datang dari Satgas Perumahan.
Baca Juga: War Tiket G-Dragon Jakarta 2025 Pecah! Ribuan Fans Serbu Situs Resmi, VVIP Langsung Ludes
Ruang yang Semakin Sempit, Harapan yang Semakin Kecil
Rencana rumah dengan ukuran 18/25 bukan hanya menyusutkan fisik, tapi juga mengundang kekhawatiran soal kualitas hidup.
“Kalau acuannya 25/18, itu bukan rumah sehat. Itu jadi ruang bertahan hidup, bukan rumah bermartabat,” ujar Bonny Z. Minang, anggota Satgas Perumahan, kepada CNBC Indonesia.
Bonny menyebut rumah subsidi tapak memang didesain bukan untuk area inti kota, melainkan kawasan pinggiran yang masih memungkinkan harga tanah lebih rasional.
Menurutnya, solusi untuk kawasan perkotaan seharusnya adalah hunian vertikal, bukan mengecilkan rumah tapak.
Ia bahkan menyampaikan kekhawatiran lebih serius: jika luas minimum ditetapkan terlalu kecil, dan dijual di atas harga subsidi.
Maka bisa dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat menengah bukan MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) untuk menikmati fasilitas subsidi seperti bunga rendah dan uang muka nol persen.
“Kalau itu terjadi, sasaran subsidi akan meleset. Masyarakat MBR yang benar-benar butuh justru tersingkir. Ini berisiko mengganggu ekosistem FLPP,” kata Bonny.
FLPP atau Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan adalah skema subsidi dari pemerintah untuk MBR.