KONTEKS.CO.ID - Institut USBA menyatakan prihatin sekaligus memperingatkan bahwa bencana banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar) di akhir 2025 adalah peringatan bagi Pulau Papua.
Menurut Institut USBA, bencana ini bukan sekadar karena cuaca ekstrem. Tetapi terindikasi sebagai konsekuensi langsung dari kerusakan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS).
Direktur Institut USBA, Charles Adrian Michael Imbir, mengugkapkan, kerusakan DAS akibat pertambangan, perkebunan skala besar, HTI, dan pembangunan infrastruktur yang tidak memperhitungkan risiko lanskap.
Baca Juga: Heboh Kerja Ringan Gaji Sultan: Cuma Menyapu, TKA China PT IMIP Digaji Rp18 Juta per Bulan!
Analisis yang Institut USBA lakukan merujuk temuan investigatif yang terekam dalam artikel berseri yang dilansir oleh strategi.id dengan judul “Bencana Sumatera 2025: Banjir, Longsor, dan Kegagalan Sistem Eksplorasi Kebijakan serta Manajemen Risiko”.
Lalu “Jejak Banjir Sumatera 2025: Ketika Hutan Pergi, Air Datang”, “Menyelamatkan Hulu Sumatera: Jalan Keluar dari Siklus Banjir 2025”, dan “Peta Perusahaan di Balik Krisis Banjir Sumatera 2025: Siapa Menguasai Hulu Sungai?”.
Keempat artikel secara kuat menunjukkan pola kerusakan ekologi yang menyebabkan banjir menjadi lebih masif, cepat, dan destruktif dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Bencana Alam Sumatera 2025: Ketika Hutan Pergi, Air Datang
Data lapangan mencatat, banjir dan longsor terjadi hanya setelah hujan turun beberapa jam. Air bah membawa lumpur, sedimen, bahkan kayu-kayu gelondongan dari bukit—indikasi adanya pembukaan hutan di zona terlarang.
Baca Juga: Setelah Muncul di Sumatera, Waspada Siklon Tropis di Selatan Indonesia Pada Akhir Tahun
Hilangnya hutan menyebabkan hilangnya “benteng penahan air” Sumatra sehingga hujan singkat pun dapat memicu bencana besar.
Di Aceh, titik longsor ditemukan berdekatan dengan konsesi mineral dan batubara, khususnya di Aceh Selatan dan Nagan Raya.
Pembukaan tebing dan jalan tambang mempercepat proses longsor dan limpasan sedimen yang mengalir ke sungai dan permukiman masyarakat.
Di Sumatera Utara, banjir paling parah berlangsung di Mandailing Natal, Padang Lawas, dan Tapanuli Selatan. Digarisbawahi, bahwa ada keterkaitan kuat antara ekspansi tambang emas dan batubara, HTI, serta perkebunan sawit terhadap percepatan erosi dan pendangkalan sungai.
Baca Juga: Dipanggil Menghadap ke Istana, Ketua MPR Ungkap Ikhtiar Maksimal Prabowo Tangani Bencana 3 Provinsi
Artikel Terkait
Bencana di Pulau Sumatera, LBH Medan Desak Pemerintah Moratorium Semua Izin Konsesi di Kawasan Hutan
Update Bencana Sumatera, BNPB: 708 Meninggal Dunia dan 499 Jiwa Hilang
Satgasud TNI AU Distribusikan Logistik Korban Bencana Daerah Terisolir Pakai Metode Hely Box
Mahfud MD Bongkar Akar Bencana Sumatra: Ada Perusahaan Besar Merusak Hutan Besar-besaran Puluhan Tahun!
Dipanggil Menghadap ke Istana, Ketua MPR Ungkap Ikhtiar Maksimal Prabowo Tangani Bencana 3 Provinsi