• Senin, 22 Desember 2025

Fadli Zon Hujan Kritik Seusai Ragukan Fakta Pemerkosaan Massal 1998

Photo Author
- Sabtu, 14 Juni 2025 | 13:35 WIB
Fadli Zon sebut tragedi pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 hanya sekadar rumor (Foto: instagram/@fadlizon)
Fadli Zon sebut tragedi pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 hanya sekadar rumor (Foto: instagram/@fadlizon)

KONTEKS.CO.ID - Amnesty International Indonesia mengecam pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang menyebut tragedi pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 hanya sekadar rumor.

Pernyataan tersebut dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap sejarah kelam Indonesia serta usaha untuk melepaskan tanggung jawab dari masa lalu yang kelam.

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai pernyataan Fadli sebagai upaya membela diri dari warisan sejarah kekuasaan yang sarat pelanggaran.

Baca Juga: Pengemudi Green SM Car Disanksi Sepihak, Koalisi Advokasi Kecam Pelanggaran Etika dan Keadilan Kerja

“Ini adalah bentuk penghindaran dari rasa bersalah dan rasa malu atas rekam jejak masa lalu yang ditinggalkan oleh para penguasa,” kata Usman dalam konferensi pers bertajuk Masyarakat Sipil Melawan Impunitas, pada Jumat 13 Juni 2025, yang digelar secara daring.

Usman menyoroti bahwa pernyataan Fadli tersebut berpotensi merusak upaya pelurusan sejarah, terutama karena pernyataan itu datang saat pemerintah tengah menulis ulang sejarah resmi.

Ia menyebut ada indikasi kuat bahwa proses penulisan ulang tersebut dimanfaatkan untuk menghapus peran pihak-pihak yang memiliki catatan kelam, termasuk Presiden Prabowo Subianto.

Baca Juga: Kemendagri Ungkap Kronologi 4 Pulau Lepas dari Aceh dan Jatuh ke Pangkuan Sumatera Utara

Menurut Usman, menyebut tragedi pemerkosaan massal sebagai rumor adalah kesalahan besar. Istilah “rumor” secara kebahasaan berarti kabar tak pasti yang beredar di masyarakat tanpa konfirmasi otoritas.

Padahal, tragedi ini telah diverifikasi oleh sejumlah lembaga resmi. Salah satunya adalah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk Presiden B.J. Habibie pada Juli 1998 dan disetujui sejumlah menteri serta pejabat tinggi negara.

Selain TGPF, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga telah menetapkan kejadian itu sebagai satu dari 12 kasus pelanggaran HAM berat yang menuntut proses peradilan.

Baca Juga: Turki Teken Kesepakatan Produksi dan Ekspor 48 Jet Tempur ke Indonesia

“Lembaga-lembaga ini dibentuk sesuai mandat undang-undang dan memiliki legitimasi hukum,” tegas Usman.

Menanggapi argumen Fadli Zon bahwa kejadian tersebut tak bisa dibuktikan di pengadilan, Usman mengatakan hal itu tidak relevan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Iqbal Marsya

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X