KONTEKS.CO.ID - Industri tekstil Indonesia kembali diguncang kabar pahit. Sepanjang 2025, lima pabrik resmi menghentikan produksi dan menutup pintu operasional mereka.
Akibatnya, sekitar 3.000 pekerja harus menerima kenyataan pahit: pemutusan hubungan kerja yang datang tanpa banyak pilihan.
Farhan Aqil Syauqi, Sekjen APSyFI, menyebut kondisi ini bukan sekadar penurunan musiman. Ia menilai industri hulu tekstil sedang berada di titik krusial.
“Tutupnya lima perusahaan tersebut disebabkan kerugian serius akibat penjualan yang tidak maksimal di pasar domestik,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang dilansir Senin, 1 Desember 2025.
Menurut Farhan, banjir produk impor dengan harga dumping terutama kain dan benang menjadi faktor utama yang meruntuhkan daya saing perusahaan lokal.
Industri yang dulu dianggap kokoh kini merosot, dan perlambatan produksi mulai terasa hampir di semua lini.
Baca Juga: Dedi Mulyadi Soroti Misteri Kayu Gelondongan Banjir Sumatra: Pohon Tak Bisa Bunuh Diri Massal
Bahkan enam pabrik lain saat ini hanya beroperasi di bawah 50%, beberapa sudah masuk fase on-off.
Situasi semakin mencemaskan karena sejumlah mesin polimerisasi, tulang punggung produksi hulu, sudah berhenti total.
Farhan memperingatkan, jika pemerintah tak bergerak cepat mengontrol aliran impor dan membuka transparansi soal kuota, gelombang penutupan pabrik pada 2026 sangat mungkin terjadi.