KONTEKS.CO.ID - Rencana pemerintah menerapkan sistem rentang kenaikan Upah Minimum Provinsi atau UMP 2026 mulai memunculkan respons dari kalangan pengusaha.
Kebijakan ini memungkinkan persentase kenaikan UMP berbeda antarprovinsi, menyesuaikan kondisi ekonomi dan industri di tiap daerah.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, mengingatkan bahwa UMP harus kembali pada fungsi awalnya, yakni sebagai batas upah minimal.
Menurutnya, UMP 2026 tidak boleh dianggap sebagai upah efektif yang digunakan perusahaan secara umum.
“Penetapan UMP itu hendaknya kembali ke konsep dasarnya. Batas minimal, bukan sebagai upah efektif,” ujarnya, Minggu 30 November 2025.
Saat ini, pemerintah sedang memformulasikan ulang penetapan UMP dengan menggabungkan Komponen Hidup Layak (KHL) dan rentang kenaikan sesuai kemampuan masing-masing daerah.
Dengan skema baru ini, nominal kenaikan UMP bisa berbeda signifikan antarprovinsi, mengikuti kekuatan industri dan ekonomi lokal.
Baca Juga: Pemerintah Kerahkan 28 Helikopter untuk Bencana Sumatra, Prabowo: Gerak Cepat Sejak Hari Pertama
Apindo Dorong Upah Efektif Dibahas Lewat Perundingan Bipartite
Menanggapi rencana tersebut, Bob menegaskan bahwa Apindo tetap mendorong penerapan upah efektif melalui perundingan bipartite di tingkat perusahaan.
Ia menilai mekanisme itu lebih adil karena mempertimbangkan kemampuan finansial perusahaan sekaligus produktivitas pekerjanya.
“Upah efektif bipartite di masing-masing perusahaan dan umumnya lebih tinggi dari upah minimum,” lanjutnya.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyampaikan bahwa rencana formula UMP 2026 telah dilaporkan kepada Presiden Prabowo Subianto.
Baca Juga: Usai Nikah, Fajar Alfian Kembali Fokus ke Pelatnas, Persiapan BWF World Tour Finals 2025