Dalam laporan itu, BPK mencatat adanya perbedaan perlakuan harga antara pelanggan sektor pemerintah, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), dan PT Kereta Api Indonesia (KAI), dibandingkan dengan pelanggan dari segmen swasta maupun BUMN tertentu. Praktik ini dinilai berpotensi menimbulkan ketidakadilan sekaligus risiko finansial.
Temuan lain yang disorot BPK adalah penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PT PPN yang hanya menetapkan target penjualan BBM berdasarkan volume, tanpa menetapkan target nilai pendapatan.
Menurut BPK, pendekatan tersebut tidak menciptakan insentif yang memadai bagi manajemen untuk menjaga profitabilitas dari penjualan BBM industri.
Akumulasi dari berbagai kelemahan itu berdampak langsung terhadap kinerja keuangan perusahaan.
BPK menilai PT Pertamina Patra Niaga gagal memaksimalkan profitabilitas akibat kebijakan diskon harga yang terlalu besar dan tidak terukur.
Bahkan, hasil pemeriksaan BPK mengungkap adanya indikasi kerugian keuangan perusahaan akibat realisasi penjualan BBM di bawah cost of product yang nilainya mencapai Rp6,97 triliun!
BPK menegaskan, temuan ini menunjukkan urgensi perbaikan menyeluruh terhadap kebijakan penetapan harga BBM industri.
Perusahaan dituntut memastikan setiap keputusan bisnis berbasis tata kelola yang kuat, transparan, serta mampu melindungi kepentingan keuangan perusahaan secara berkelanjutan.***
Artikel Terkait
Harga BBM Pertamina di saat Sumatera Dilanda Bencana Banjir dan Longsor: Per Tanggal 1 Desember 2025, Pertamax Cs Kompak Naik
Pertamina Patra Niaga Salurkan 6.000 Liter Avtur dan Dukungan Energi untuk Percepatan Penanganan Banjir Sumatera
Pertamina Kerahkan Pompa Manual untuk Mengatasi Harga BBM Gila-gilaan di Daerah Bencana Banjir Sumatra
Pertamina dan Rosneft Finalisasi Kelanjutan Kilang Tuban di Tengah Ancaman Sanksi AS
BPK Bongkar Dana Energi Rp399 Triliun Libatkan Pertamina, Subsidi LPG Jadi Beban Terbesar