Hal ini perlu dilakukan guna melindungi para investor di pasar saham dengan memastikan bahwa informasi prospektus benar-benar diverifikasi oleh pihak yang independen.
“Bukan hanya oleh internal bursa efek. Dengan perbaikan tata kelola ini, kita bisa mengurangi potensi konflik kepentingan sekaligus meningkatkan daya tarik pasar modal di mata investor domestik maupun global,” ujarnya lagi.
Dengan langkah ini, tata kelola pasar modal akan lebih kredibel dan sejalan dengan prinsip good governance.
Baca Juga: Cara Matikan Dering Telepon WhatsApp dari Orang Tidak Dikenal
Beberapa waktu lalu, dalam acara Rise Forum 2025, Budi Frensidy, praktisi pasar modal dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menilai perusahaan menengah membutuhkan dukungan dari investor institusi.
Pasalnya, meskipun secara mayoritas pasar modal Indonesia didominasi oleh ritel, investor besar tetap berperan dalam menentukan arah pasar.
Pemerintah saat ini tengah getol menggenjot usaha menengah untuk IPO, pada Juli lalu Menteri UMKM Maman Abdurrahman menyebut terdapat potensi dari sekitar 59 entitas usaha menengah untuk melantai dan saat ini tengah dalam proses screening.
Baca Juga: Ojol Demo 17 September 2025! Aplikasi Dimatikan, Tuntut Keadilan Hingga Copot Menhub
Pengamat pasar modal Dipo Satria Ramli menilai aturan yang berlaku di BEI masih cenderung mengacu pada standar papan utama yang diperuntukkan bagi emiten berkapitalisasi besar.
Padahal, menurutnya, kondisi tersebut tidak sesuai dengan karakteristik perusahaan menengah yang justru membutuhkan regulasi lebih fleksibel agar bisa melantai di bursa.***
Artikel Terkait
Call Name Jadi Bank Jakarta, Gubernur Pramono: Harus Profesional dan Siap IPO
BEI Targetkan 5 IPO Lighthouse pada 2025, 3 Emiten Sudah Tercatat
Perusahaan Distribusi Alat Kesehatan ini Mau IPO, Tawarkan Saham Perdana Mulai Rp120
Cara Ikut E-IPO di Bareksa: Panduan Lengkap untuk Pemula
Menteri UMKM Luncurkan Rise To IPO, Solusi Pembiayaan Usaha Menengah