KONTEKS.CO.ID - Keputusan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia yang menetapkan empat pulau, Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Pulau Panjang, sebagai bagian dari wilayah Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, bukan sekadar persoalan administratif.
Bagi masyarakat Aceh, khususnya Aceh Singkil, ini menyentuh hal-hal mendasar seperti identitas, sejarah, dan kedaulatan wilayah.
Bagi warga Aceh Singkil, keempat pulau itu bukan hanya titik-titik di peta.
Pulau-pulau tersebut adalah bagian dari ruang hidup yang sejak lama menjadi wilayah tangkap nelayan, bagian dari budaya lokal, dan masuk dalam cakupan administratif Aceh jauh sebelum Indonesia merdeka.
Baca Juga: Ahli Waris dan Tokoh Agama Desak Pemerintah Kembalikan Empat Pulau ke Aceh Singkil
Peta resmi Republik Indonesia tahun 1956 yang menjadi dasar hukum dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU Nomor 11 Tahun 2006) dengan jelas mencantumkan bahwa keempat pulau itu merupakan bagian dari wilayah Aceh.
Pasal 1 ayat (2) UUPA menyatakan batas wilayah Aceh mengacu pada peta tersebut, bukan pada penafsiran baru.
"Pemindahan administratif pulau-pulau itu ke provinsi lain tanpa melalui dialog dan kesepakatan dengan Pemerintah Aceh adalah bentuk pelanggaran terhadap hukum nasional. Ini juga mencederai semangat perdamaian Helsinki 2005," kata Dr. Ahmad Nasir Assingkily, Dosen Fakultas Syariah STAI Syekh Abdurrauf Aceh Singkil, seperti dikutip dari dialog RRI Pro 1 Aceh Singkil.
Ahmad Nasir menegaskan UUPA bukan sekadar produk undang-undang biasa, melainkan bagian dari kesepakatan politik dan rekonsiliasi nasional pascakonflik.
Baca Juga: Soal Empat Pulau, Pemerintah Aceh Minta Kemendagri Rujuk Kesepakatan 1992
Mengabaikannya, menurutnya, sama dengan menggerus dasar kepercayaan antara Jakarta dan Aceh.
Lebih jauh, dalam perspektif siyasah syar’iyyah, batas wilayah adalah amanah kekuasaan yang tak boleh diubah secara sepihak.
Merujuk pada pandangan Imam al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sultaniyyah, pemimpin wajib menjaga hak rakyatnya dan membuat keputusan secara adil dan bermusyawarah.
"Memindahkan wilayah Aceh ke provinsi lain tanpa dasar hukum yang kuat, tanpa partisipasi publik, dan tanpa kejelasan adalah bentuk ketidakadilan yang bertentangan dengan prinsip politik Islam dan nilai kebangsaan," lanjut Ahmad Nasir.