Secara bahasa, Roni menjelaskan, kata "pacu" berarti lomba atau balapan, sementara "jalur" adalah sebutan lokal untuk perahu.
Maka, secara sederhana Pacu Jalur berarti balapan mendayung perahu di sungai.
Setiap perahu Pacu Jalur diawaki sejumlah peran, antara lain tukang concang (pengatur irama dayung), tukang pinggang (pengemudi), tukang tari (penari untuk semangat), dan tukang onjai (penggoyang perahu).
Lomba dimulai setelah dentuman meriam karbit, dan para peserta berlomba menyusuri arus Sungai Kuantan menuju garis akhir.
Roni menambahkan, panjang perahu jalur rata-rata mencapai 40 meter dan pembuatannya membutuhkan biaya sekitar Rp100 juta per unit, yang biasanya dikumpulkan secara gotong royong oleh warga Kuansing.
Baca Juga: Kisah Belem, Perahu 120 Tahun Pembawa Api Olimpiade ke Paris
Satu perahu bisa diisi oleh 50 hingga 60 pendayung, tergantung ukurannya.
Festival Pacu Jalur, lanjut Roni, telah menjadi bagian dari sejarah panjang masyarakat Riau sejak zaman penjajahan Belanda, tepatnya sekitar tahun 1890.
Awalnya, acara ini digelar untuk memperingati ulang tahun Ratu Wilhelmina pada 31 Agustus.
Kini, tradisi tersebut bertransformasi menjadi perayaan kemerdekaan Indonesia setiap bulan Agustus.
Di beberapa masa, perlombaan ini juga pernah diselenggarakan untuk memperingati hari-hari besar keagamaan umat Islam, seperti Maulid Nabi, Idulfitri, dan Tahun Baru Hijriah.***
Artikel Terkait
Terminal Wisata Grafika Cikole, Wisata Alam di Kaki Gunung Tangkuban Perahu
20 Orang Tewas akibat Perahu Tenggelam di Sungai Afghanistan
Hampir Punah, Perahu Wairon Simbol Kejayaan Suku Byak di Laut Dibangun di Kampung Yenbekaki
Perahu Wairon Akan Diluncurkan dan Layar Perdana Jumat Besok