“Baru pada kadar 15 hingga 20 persen, performa mulai menurun,” beber Manajer Senior Science Techno Park (STP) Klaster Otomotif ITS tersebut.
Lebih lanjut, dosen pengampu di Laboratorium Rekayasa Termal dan Sistem Energi ini menjelaskan, bioetanol memiliki angka oktan yang tinggi, yakni 108-120.
Nilai tersebut membuat proses pembakaran lebih efisien sekaligus menurunkan risiko knocking pada mesin. “Artinya, mesin dapat bekerja lebih stabil saat menerima tekanan dan suhu yang tinggi,” tandasnya.
Ada Efek Samping?
Mengenai sifat higroskopis, Bambang tak menyangkal bioetanol memang mudah menyerap air terutama di iklim lembap Indonesia. Selain itu, sifat pelarut dan kecenderungannya teroksidasi membuat bioetanol berpotensi korosif pada logam maupun bahan karet.
Karena itu, diperlukan adaptasi material dan perawatan sistem bahan bakar yang tepat guna mempertahankan kualitasnya. “Selama penanganannya benar, risiko penurunan mutu bisa dihindari,” katanya mengingatkan.
Profesor yang menempuh pendidikan S1 hingga S3 di ITS ini juga menyoroti sisi lain dari penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar campuran.
Bioetanol mempunyai nilai kalor sekitar 35% lebih rendah dibanding bensin. Hal ini menyebabkan energi yang dihasilkan dari proses pembakaran akan sedikit lebih kecil.
“Namun efeknya tidak terlalu signifikan pada kadar campuran rendah hingga 10 persen,” sebutnya.
Baca Juga: Brittany Porter Menikah dengan Sultan Muhammad V Kelantan, Keguguran Lalu Ditinggal Begitu Saja!
Melihat potensi sekaligus tantangan yang ada, Bambang menilai bahwa penerapan bioetanol sebagai bahan bakar campuran perlu disiapkan secara menyeluruh.
Yakni, mulai dari sisi pasokan bahan baku, teknologi pencampuran dan penyimpanan yang sesuai sampai sistem distribusi yang efektif.
“Setiap tahap harus diawasi dengan ketat agar mutu bahan bakar tetap stabil,” pungkas Prof Bambang. ***