Bahkan mobil-mobil di bawah tahun 2000, tahun 90an, 80an sebagian besar dirancang untuk menggunakan BBM yang tidak mengandung etanol.
Sehingga dirinya menekankan bahwa penerapan etanol sejatinya dilakukan secara bertahap agar industri otomotif dan penyedia bahan bakar punya waktu beradaptasi.
"Artinya, kalau mau berubah, boleh. Tapi beri waktu industri untuk beradaptasi Industri mobil untuk memastikan mobil yang dijual ke masyarakat itu sudah tahan dengan BBM ber-etanol," tuturnya.
Fitra menambahkan, kesempatan juga sejatinya diberikan kepada teman-teman dari SPBU atau dari pabrikan bensin, baik swasta maupun Pertamina, untuk bisa merancang aditifnya, dan lebih bagus lagi untuk bekerja bersama dengan industrial yang beretanol.
"Jadi intinya, perubahan boleh saja, tapi tidak mendadak. Berikan kesempatan untuk industri beradaptasi supaya produk mobil dan produk bahan bakar yang dijual di pasaran memberikan konsumen benefit yang maksimal. Kita mendapatkan mesin yang tahan etanol dan mendapatkan bahan bakar yang berkualitas terbaik. Jangan terbunuh dulu," tutup Fitra Eri.
Baca Juga: Boyamin Sebut Kiennya Siap Cabut Gugatan Soal BBM SPBU Swasta Asalkan Bahlil Penuhi Syarat
Pernyataan Fitra Eri tersebut merespons pengumuman Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang menyebut Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui mandatori E10.
Bahan bakar ini merupakan campuran 10 persen etanol berbasis nabati, seperti tebu dan jagung, dengan 90 persen bensin fosil. Kebijakan ini meniru keberhasilan mandatori biodiesel B40 yang sebelumnya mampu mengurangi ketergantungan terhadap minyak impor.
Rencana mandatori E10 muncul di tengah tingginya kebutuhan BBM nasional. Konsumsi BBM Indonesia saat ini mencapai sekitar 1,6 juta barel per hari, sementara produksi minyak domestik hanya 600.000 barel per hari. Artinya, Indonesia masih harus mengimpor sekitar 1 juta barel per hari untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.
Kebijakan etanol diklaim sebagai strategi pemerintah untuk menekan impor sekaligus memperkuat transisi energi hijau. Namun, penerapannya jelas membutuhkan kesiapan teknis, infrastruktur distribusi, dan kompatibilitas kendaraan agar tidak menimbulkan masalah bagi konsumen dan industri otomotif di kemudian hari.***
Artikel Terkait
Vivo dan BP-AKR Batal Beli Minyak Pertamina, Kandungan Etanol 3,5 Persen Jadi Alasan
Kementerian ESDM Pastikan BBM Pesanan Berikutnya dari Vivo dan Shell Bebas Etanol
Pertamina Patra Niaga Luruskan Kabar Pertalite Campur Etanol yang Viral di Medsos
Penjelasan Pakar Soal Etanol, Apakah Bikin Boros dan Aman untuk Mesin