KONTEKS.CO.ID – Direktur Maarif Instutute, Andar Nubowo, menilai bahwa lemahnya kontrol publik dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah karena terlalu dekat dengan kekuasaan rezim Prabowo-Gibran.
Andar dalam keterangan diterima di Jakarta, Minggu, 14 Desember 2025, menyampaikan, situasi ini dalam kerangka sejarah bisa ditarik yang lebih panjang.
Ia membeberkan fakta bahwa baik NU maupun Muhammadiyah tidak dilahirkan dengan DNA oposisi, melainkan sebagai gerakan sosial yang adaptif terhadap kekuasaan demi keberlangsungan organisasi.
Namun, kata aktivis Muhammadiyah ini, sejak Reformasi, terutama pasca-2017, hubungan ormas dan negara memasuki fase paling intim dalam sejarah republik, dimulai dari strategi Jokowi merangkul “Islam moderat” dan kini dilanjutkan oleh pemerintahan Prabowo–Gibran.
“Ini bukan peristiwa sesaat, melainkan sebuah kontinuum kekuasaan,” ujarnya.
Menurut Andar, kedekatan itu membuat NU dan Muhammadiyah enggan membaca negara sebagai kekuasaan yang berpotensi oligarkis dan koruptif, sehingga kritik melemah.
Baca Juga: Muhammadiyah Serukan Gerakan Solidaritas Nasional untuk Korban Banjir dan Longsor di Sumatera
Bahkan, tandas dia, logika “stabilitas” dan “kemaslahatan” sering dijadikan pembenaran untuk menunda atau membungkam sikap kritis.
Menurutnya, dalam kondisi seperti ini, iron law of oligarchy, hukum besi oligarki, bekerja, yakni organisasi besar cenderung dikuasai segelintir elite yang kepentingannya menyatu dengan negara.***