“Saat ini saya sedang mengerjakan masalah ini di Indonesia,” tandasnya.
Dengan kombinasi data GNSS di darat dan teknologi geodesi dasar laut, Heki menekankan Indonesia dapat mulai memetakan akumulasi tegangan yang berpotensi memicu gempa besar di masa depan.
Sementara itu, Associate Professor di Global Geophysics RG, Program Studi Teknik Metalurgi ITB, Endra Gunawan, memaparkan hasil riset terbarunya mengenai seismogenic potential Sesar Jakarta menggunakan metode GNSS slip-rate analysis.
Baca Juga: Korban Tewas Akibat Bencana di Sumatera Capai 908 Orang, 410 Masih Hilang
Endra menunjukkan deformasi kerak di wilayah Jakarta dapat terukur secara periodic. Sekaligus membuka peluang pemodelan bahaya gempa di wilayah perkotaan padat penduduk.
Riset ini sekaligus memperkuat pesan Prof Heki bahwa pemantauan berbasis deformasi merupakan fondasi mitigasi modern.
“Analisis kami berdasarkan pendekatan GPS, dan kami menemukan bahwa patahan di bagian selatan Jakarta ini menghasilkan laju pergeseran sekitar tiga milimeter per tahun dengan kedalaman penguncian tujuh dan sudut kemiringan 63 ke selatan,” sebutnya.
Pembicara ketiga Muhammad Al Kautsar, ahli GNSS CORS di Direktorat Sistem Referensi Geospasial Badan Informasi Geospasial (BIG), menekankan pentingnya integrasi data GNSS nasional untuk pemantauan geohazard.
Ia menuturkan bagaimana jaringan CORS yang dikelola BIG digunakan dalam memantau pergerakan mikro dan deformasi harian yang berkaitan dengan potensi gempa.
“Dinamika pergerakan lempeng di Indonesia membawa implikasi serius. Akibat dari pergerakan tersebut, Indonesia akan banyak mengalami gempa bumi dan aktivitas gunung berapi,” kata Kautsar mengingatkan. ***